Rabu 09-Nov-2022 14:20 WIB
226
Foto : theconversation
brominemedia.com-- Peningkatan harga-harga, terutama bahan-bahan pokok, telah
memicu penurunan daya beli masyarakat. Terkait kondisi ini, Bank Dunia pun
meninggikan standar garis kemiskinan moneter terbaru.
Melalui rilis perkembangan ekonomi terbaru di negara-negara
Kawasan Asia dan Pasifik, Bank Dunia memberikan update penghitungan kemiskinan
berdasarkan pemasukan, yang berdampak pada jumlah penambahan orang miskin.
Batasan pendapatan harian yang masuk dalam kemiskinan
ekstrem – berdasarkan purchasing power parity (PPP) terbaru – adalah sebesar
US$2,15 (Rp 33.756) per hari. Standar sebelumnya adalah sebesar US$1,9 per
hari. Dari laporan Bank Dunia ini, tercatat bahwa 33 juta orang kelas menengah
ke bawah di Asia turun kelas menjadi kategori orang miskin ekstrem.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, Cina dan
Indonesia menyumbang penurunan jumlah orang kelas menengah terbanyak, yakni
masing-masing 18 dan 13 juta orang.
Sementara, menurut rilis terakhir Badan Pusat Statistik
(BPS) per Maret 2022, penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 9,54% dari
populasi, atau setara 26,16 juta orang. Ini menurun 0,17% dibanding September
2021. Basis perhitungan BPS adalah menggunakan garis kemiskinan nasional berdasarkan
pengeluaran, yakni sekitar Rp 550 ribu rupiah per kapita per bulan.
Perlu dicermati, kemiskinan berbasis konsumsi atau
pendapatan oleh Bank Dunia, BPS, dan mungkin lembaga-lembaga keuangan lain baru
mengantarkan kita untuk melihat muka kemiskinan yang ada. Aspek kemiskinan
non-moneter yang seringkali menyangkut kualitas hidup masyarakat selama ini
belum mendapat perhatian serius.
PBB telah mencantumkan pengentasan kemiskinan yang perlu
diselesaikan dari segala bentuknya di manapun sebagai poin pertama dari 17 poin
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Meski tidak ada prioritas dari semua
tujuan, poin pertama seharusnya menyiratkan bahwa poin ini adalah komitmen
utama.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan melalui peningkatan kualitas hidup masyarakat, tidak lagi hanya
berdasarkan data-data pendapatan atau pun pengeluaran, namun juga standar hidup
layak. Menyikapi hal ini, kemiskinan multidimensi muncul sebagai konsep yang
lebih relevan, luas, dan ideal untuk menghitung dan menyediakan bukti-bukti
kemiskinan.
Alternatif penghitungan dan kondisi Indonesia Sejak tahun
2010, Oxford Poverty and Human Initiatives (OPHI) dari University of Oxford
telah mengembangkan dan memberikan alternatif penghitungan Indeks Kemiskinan
Multidimensi (IKM).
Indeks ini bisa menjadi alternatif sekaligus memberikan
gambaran dimensi kemiskinan yang bisa ditargetkan spesifik oleh pemerintah,
selain juga untuk membandingkan kemiskinan antar wilayah atau negara.
Dengan menekankan pada standar kelayakan, IKM Global
menghitung tingkat kemiskinan di tiga dimensi dasar – kesehatan, pendidikan,
dan standar hidup – yang membandingkan situasi dan kondisi antar negara.
Sedangkan, IKM nasional merupakan pengembangan dari IKM
global yang lebih relevan dan fleksibel untuk mengetahui kondisi dan
ketercapaian pengentasan kemiskinan di lingkup negara atau regional sehingga
bisa menjadi dasar prioritas kebijakan. Menggunakan metode Alkire-Foster dan
data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, the Prakarsa sedang
menghitung IKM nasional berdasarkan elaborasi lima dimensi yakni kesehatan,
pendidikan, perumahan, layanan dasar, serta partisipasi sosial.
Temuan awal menyebut jumlah individu miskin dalam rumah
tangga di Indonesia ada sebesar 38,9 juta jiwa atau sekitar 14,3% dari total
penduduk pada 2021. Persentase kemiskinan ini relatif menurun drastis
dibandingkan dengan tahun 2020 dan 2019 yang masing-masing sebesar 17,5% dan
23%.
Indikator material rumah tinggal dan akses air minum layak
menjadi dua indikator terbesar yang mempengaruhi jumlah kemiskinan multidimensi
di rumah tangga ini.
Hasil ini juga sejalan dengan data Kementerian Pembangunan
Umum dan Perumahan Rakyat bahwa masih ada hampir 30 juta rumah tidak layak di
Indonesia pada 2021 dan 57,15% desa di seluruh Indonesia juga belum memiliki
akses air minum pada 2022.
Temuan kami juga menunjukkan bahwa berdasarkan provinsi,
Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur menjadi tiga provinsi dengan
tingkat kemiskinan multidimensi terbesar yakni masing-masing 27,1%, 21,8%, dan
20,7% dari total populasinya.
Meski jumlah penduduk miskin secara multidimensi tercatat
relatif lebih besar dibanding moneter, tentu tren penurunan kuantitas dan
kualitas kemiskinan secara multidimensi di masyarakat menjadi sinyal baik
adanya perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin.
Penargetan kebijakan pengentasan kemiskinan esktrem Melalui
instruksi presiden, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengentasan
kemiskinan ekstrem secara penuh pada 2024. Mempertimbangkan temuan kemiskinan
multidimensi, langkah pemerintah dianggap sejalan. Kebijakan pemerintah baik
pusat dan daerah untuk memperbaiki kualitas perumahan dan permukiman kumuh
masyarakat sudah cukup beragam dan lintas sektor, misalnya melalui program
penyediaan satu juta rumah dan perbaikan rumah tidak layak huni.
Dari sisi akses air bersih dan air minum, pemerintah secara
lintas sektor telah banyak menginisiasi target-target capaian. Bahkan,
Kementerian Kesehatan menargetkan 100% akses air minum layak pada 2024.
Sayangnya, capaian selama proses implementasi hingga evaluasi program-program
ini tidak disuguhkan secara terbuka dan komprehensif kepada publik.
Di lain sisi, kami melihat bahwa dalam upaya pengentasan
kemiskinan selama ini, pemerintah justru masih cenderung memprioritaskan
cara-cara lama dan instan dengan pemberian subsidi serta berbagai bentuk
bantuan tunai yang hanya efektif dalam jangka pendek. Subsidi bahan bakar,
misalnya, perlahan dikurangi akibat harga global yang semakin meningkat.
Hasilnya, subsidi upah dan bantuan tunai dianggap belum bisa
mengkompensasi dampak peningkatan harga-harga kebutuhan pokok lain. Pemerintah
perlu memiliki kesadaran dan kemauan politik yang kuat untuk dapat
memprioritaskan penggunaan bukti yang kuat, efektif, dan bisa dipercaya.
Hitungan kemiskinan multidimensi yang menggambarkan kondisi
Indonesia sudah tersedia setidaknya sejak 2015. Indikator ini seharusnya bisa
dimaksimalkan dengan bijak untuk memfokuskan dan memprioritaskan pembangunan
berdasarkan aspek yang bisa menurunkan derajat kemiskinan masyarakat tanpa
terlalu boros anggaran untuk program-program jangka pendek. Dengan kemampuan
fiskal terbatas, ketika kemiskinan non-moneter bisa dipetakan dengan data yang
mumpuni, pemerintah hingga level kecamatan pun tahu prioritas kebijakan
pembangunan seperti apa yang bisa menurunkan angka kemiskinan secara signifikan
di wilayah tersebut dalam jangka panjang.
Kemiskinan multidimensi tidak perlu menggantikan hitungan
moneter. Akan tetapi, perlu saling melengkapi dalam prioritas pengukuran
kemiskinan oleh pemerintah di semua level sehingga perumusan kebijakan
pengentasan kemiskinan semakin efektif dan efisien.
Rizky Deco Praha terafiliasi dengan The
Prakarsa, lembaga think-tank yang berfokus pada isu sosial, ekonomi, dan pembangunan
berkelanjutan.
Konten Terkait
Sejumlah isu terkini yang dapat disoroti yaitu dibukanya sejumlah pabrik rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Jawa Tengah akibat kenaikan tarif
Kamis 01-Aug-2024 21:49 WIB
BPS Sumsel baru saja merilis data tentang turunnya angka kemiskinan. Berita tersebut tentu cukup menggembirakan bagi berbagai pihak.
Selasa 09-Jul-2024 20:22 WIB
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2024 kemiskinan nasional sebesar 9,03% atau menjadi 25,22 juta orang.
Senin 01-Jul-2024 20:25 WIB
Gubernur DIY menganggap label kemiskinan di DIY tertinggi di Pulau Jawa tidak adil. Menurut Sultan tingkat kemiskinan tidak bisa hanya berdasar persentase.
Kamis 26-Jan-2023 09:07 WIB
brominemedia.com-- Peningkatan harga-harga, terutama bahan-bahan pokok, telah memicu penurunan daya beli masyarakat. Terkait kondisi ini, Bank Dunia pun meninggikan standar garis kemiskinan moneter terbaru.
Rabu 09-Nov-2022 14:20 WIB