Apa Itu Supersemar? Surat yang Disebut Kubu Roy Suryo Cs Sama Misteriusnya dengan Ijazah Jokowi
Minggu 28-Dec-2025 20:05 WIB
4
Foto : tribunnews
Brominemedia.com - Kuasa hukum pakar telematika Roy Suryo dan rekan-rekannya, Abdul Gafur Sangaji, melontarkan pernyataan kontroversial terkait ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Ia menilai dokumen tersebut memiliki tingkat kemisteriusan yang sebanding dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), naskah bersejarah yang menjadi tonggak peralihan kekuasaan nasional pada era Orde Lama ke Orde Baru.
Menurut Abdul Gafur, bukan hanya nilai sejarahnya yang disorot, melainkan juga kejelasan dan keabsahan dokumen tersebut yang hingga kini dinilainya masih menyisakan tanda tanya.
Pernyataan itu disampaikan Abdul Gafur saat menjadi narasumber dalam podcast yang tayang di kanal YouTube Forum Keadilan TV, Sabtu (27/12/2025).
"Jadi, memang ijazah tersebut betul-betul adalah suatu dokumen yang saya pikir nilai historikalnya sama seperti Supersemar," tutur Abdul Gafur.
"Supersemar itu kan cuma satu lembar kertas, yaitu perintah Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil alih keamanan negara pada saat situasi kacau setelah peristiwa G30S PKI dan kemudian sampai hari ini masih misterius."
Ia menambahkan bahwa kondisi serupa, menurutnya, juga melekat pada dokumen pendidikan Jokowi.
"Saya kira sama seperti selembar kertas ijazah Pak Joko Widodo yang sampai hari ini saya pikir masih menjadi tanda tanya besar, asli atau palsu."
Momen Kritis Saat Ijazah Ditunjukkan di Gelar Perkara Khusus
Abdul Gafur mengungkapkan bahwa pihak Roy Suryo cs awalnya tidak terlalu terkejut ketika penyidik Polda Metro Jaya memperlihatkan ijazah Jokowi dalam gelar perkara khusus (GPK) pada Senin (15/12/2025).
Alasannya, dokumen tersebut identik dengan versi digital yang sebelumnya beredar di media sosial.
Ia menyebut, ijazah yang ditunjukkan penyidik sama dengan hasil pindai yang pernah diunggah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dian Sandi Utama, di platform X (dulu Twitter) pada 1 April 2025.
Dokumen digital itu pula yang menjadi objek kajian Roy Suryo bersama Rismon Sianipar dan dokter Tifauzia Tyassuma.
"Detik-detik ijazah ditunjukkan kepada seluruh peserta gelar perkara khusus, itu menurut saya momen yang paling kritis dan paling dinanti-nantikan terutama oleh para tersangka dan kuasa hukumnya," ucap Abdul Gafur.
"Setidaknya untuk memastikan ijazah seorang presiden RI yang pernah berkuasa selama 10 tahun yang dipertanyakan, dipersoalkan. Apakah itu adalah ijazah yang seperti diteliti oleh Mas Roy atau nggak, yang sudah beredar di publik dalam beberapa bulan terakhir ini."
"Kami [sempat] khawatir juga, jangan sampai ijazahnya [yang ditunjukkan penyidik]bukan itu [yang diteliti], gitu loh."
"Kalau ijazahnya bukan itu, mohon maaf berarti Mas Roy, Bang Rismon dan Dr. Tifa, setidak-tidaknya sudah terpenuhi unsur deliknya."
Warga Negara Beruntung Bisa Melihat Ijazah Analog Jokowi
Meski versi digitalnya tidak mengejutkan, Abdul Gafur mengakui ada satu hal yang benar-benar di luar dugaan, yakni saat penyidik memperlihatkan ijazah analog Jokowi secara langsung.
"Tapi karena yang diperlihatkan itu adalah ijazah yang sama seperti yang pernah diunggah Dian Sandi, kemudian sudah beredar luas di media sosial dan pernah menjadi objek penelitiannya Mas Roang Rism dan Dr. Tifa, sebetulnya bagi kami tidak ada sesuatu yang surprise."
Namun, ia berkelakar bahwa pihak Roy Suryo cs merasa menjadi kelompok yang “beruntung” karena dapat melihat langsung dokumen fisik tersebut.
"Yang surprise itu hanyalah satu, yaitu ijazah analognya bisa diperlihatkan kepada kami," kata Abdul Gafur.
"Kami yang ada dalam ruangan itu mungkin adalah warga negara Indonesia yang beruntung ya, bisa melihat ijazah analog Pak Joko Widodo."
"Seperti orang belum sampai hari ini belum pernah melihat teks Supersemar yang masih misterius itu ya. Jadi, kami beruntung bisa melihat ijazah analognya Pak Joko Widodo."
Apa Itu Supersemar?
Melansir dari Kompas.com, Supersemar adalah surat yang mengawali peralihan kepemimpinan nasional dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.
Lewat surat yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966 ini, terjadi penyerahan mandat kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto, yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Supersemar dikeluarkan dengan tujuan mengatasi konflik dalam negeri saat itu, yang salah satunya dipicu peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965.
Namun, hingga saat ini, Supersemar masih menjadi kontroversi karena naskah aslinya tidak pernah ditemukan.
Supersemar adalah singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret 1966.
Supersemar terjadi karena gejolak di dalam negeri usai peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965.
Dalam peristiwa itu, tentara menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal.
Hal ini kemudian memicu amarah para pemuda anti komunis, yang selanjutnya membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada Oktober 1965.
Selain itu, ada juga Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), KABI, KASI, KAWI, dan KAGI, yang semuanya tergabung Front Pancasila yang dilindungi tentara.
Mereka kemudian menyuarakan protes kepada Soekarno, yang dianggap tidak mengusut G30S dan buruknya perekonomian di masa pemerintahannya.
Aksi unjuk rasa semakin kencang saat inflasi pada awal 1966 telah mencapai 600 persen lebih dan Soekarno masih bergeming.
Pada 12 Januari 1966, Front Pancasila melakukan demonstrasi di halaman Gedung DPR-GR dan melayangkan tiga tuntutan.
Berikut isi tiga tuntutan yang kemudian dikenal dengan Tritura.
Pembubaran PKI
Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S
Penurunan harga
Demonstrasi besar-besaran kembali terjadi pada 11 Maret 1966, yang dilakukan di depan Istana Negara dan didukung oleh tentara.
Melihat situasi saat itu, Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto menitip pesan kepada tiga jenderal.
Tiga jenderal tersebut adalah Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi), yang hendak menemui Soekarno.
Soeharto meminta Presiden Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi keadaan apabila diberi kepercayaan.
Setelah pesan tersebut sampai, Soekarno langsung menandatangani surat perintah untuk mengatasi konflik pada 11 Maret 1966 sore.
Surat tersebut kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar, yang dibuat di Istana Bogor.
Surat Perintah Sebelas Maret bertujuan untuk mengatasi situasi saat itu, yang semakin memanas.
Setelah Supersemar dikeluarkan oleh Soekarno, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.
Berikut ini isi keputusan tersebut.
Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang
Penangkapan 15 menteri yang terlibat ataupun mendukung G30S
Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan lembaga itu sesuai UUD 1945.
Selama ini, beredar 3 versi Supersemar yang tidak ada satu pun yang asli. Ketiga versi tersebut datang dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi Kebangsaan.
Meski Supersemar ada berapa versi, terdapat beberapa pokok pikiran yang diakui Orde Baru dan dijadikan acuan.
Supersemar berisi tentang beberapa hal, sebagai berikut.
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.
Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Setidaknya ada tiga kontroversi Supersemar, yaitu:
Keberadaan naskah Supersemar asli hingga kini belum diketahui dan tiga versi yang ada tidak otentik
Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, tetapi di bawah tekanan
Supersemar merupakan perintah pengendalian keamanan, tetapi dimaknai oleh jenderal yang membawa surat itu dari Istana Bogor ke Jakarta sebagai penyerahan kekuasaan, sehingga digunakan Soeharto melakukan beberapa aksi beruntun, termasuk pembubaran PKI.