Kamis 03-Nov-2022 10:48 WIB
304

Foto : detik
brominemedia.com--
Mahkamah Konstitusi (MK) menutup
persidangan legalisasi pernikahan beda agama setelah melalui 12 kali sidang.
Sidang ini digelar atas permohonan E. Ramos Petege, pemeluk agama Katolik yang
gagal menikahi perempuan beragama Islam.
"Persidangan
hari ini ya, kemungkinan besar adalah persidangan terakhir," kata Ketua MK
Anwar Usman dalam sidang MK yang dilansir website MK, Rabu (2/11/2022).

Setelah
sidang selesai, 9 hakim MK akan melakukan musyawarah hakim untuk memutuskan
permohonan tersebut. Apakah dikabulkan, ditolak atau MK memberikan penafsiran
tersendiri. Sesuai UU, waktu memutuskannya tidak dibatasi hari. Beda dengan
perkara pidana.
Berikut
peta perdebatan sidang tersebut yang dirangkum detikcom.
Pertanyaan Hakim Konstitusi
Hakim
konstitusi Suhartoyo mempertanyakan relevansi larangan pernikahan beda agama di
UU Perkawinan. Sebab, UU itu telah berusia puluhan tahun sehingga
konstektualnya bisa saja dikaji lagi.
"Sebenarnya
Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, ini kan sudah hampir 40 lebih
tahun," kata Suhartoyo yang dikutip risalah sidang dari website MK, Senin
(4/7/2022).
Suhartoyo
menggarisbawahi keterangan DPR yang disampaikan Arsul Sani. Diterangkan Arsul
Sani bila larangan itu sudah menjadi perdebatan saat lahirnya UU Perkawinan
itu.
"Nah,
persoalan yang muncul kemudian, memang dalam konteks kekinian, Pak Arsul dan
Pak Dirjen, ini kan sudah berbeda dengan tahun 1974. Apakah tetap statis
seperti 1973 atau kah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi
bahan kajian bersama ketika akan dilakukan perubahan Undang‐Undang Nomor 174
itu, Pak Arsul?" tanya Suhartoyo.
Sedangkan
hakim konstitusi Daniel Yusmic menggarisbawahi pada kenyataannya nikah beda
agama tersebut terjadi di Indonesia. Pemerintah diminta memberi solusi.
"Jalan
tengahnya seperti apa?" tanya Daniel tegas.
Sikap
Pemerintah
Pemerintah
menegaskan menolak melegalkan pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan dalam
sidang judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan
oleh warga Papua, Ramos Petege.
"Menolak
permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‐tidaknya menyatakan
permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard)," demikian keterangan resmi pemerintah.
Sikap
pemerintah ini diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil
Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag,
Kamaruddin Amin.
"Makna
hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah
ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama
disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama," kata
Kamaruddin Amin.
Menurut
pemerintah, hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan yang ada di
Indonesia berbeda‐beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan. Suatu hukum
perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya
perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing
pasangan calon mempelai.
"Makna
hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah
ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama
disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama," kata
Kamaruddin Amin.
Menurut
pemerintah, hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan yang ada di
Indonesia berbeda‐beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan. Suatu hukum
perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya
perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing
pasangan calon mempelai.
"Dan
terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang
bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan
perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang
bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik
perkawinan," urai pemerintah.
Ahli Pro
Nikah Beda Agama
Rocky
Gerung menyatakan negara memanfaatkan agama untuk mengatur kamar tidur orang.
Hal itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perkawinan soal nikah beda
agama.
"UU
ini bermasalah karena mengatur yang disediakan oleh alam. Perkawinan itu adalah
peristiwa perdata. Dalam UU disebut hak, bukan kewajiban. Jadi boleh tidak
memakai hak itu," kata Rocky.
"Di
agama juga bukan kewajiban. Hak beragama dijamin oleh negara, tapi tidak ada
kewajiban negara untuk warganya beragama kecuali disebutkan secara jelas bahwa
setiap warga negara Indonesia wajib beragama," beber Rocky Gerung.
Direktur
Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyatakan sudah saatnya
tidak ada keraguan untuk membolehkan menikah beda agama.
"Berbagai
norma internasional yang tertuang di dalam Deklarasi Universal HAM, berbagai
perjanjian internasional hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial, budaya
dan juga berbagai konvensi yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan,
jelas memberikan hak dan kebebasan kepada laki‐laki maupun perempuan untuk
melakukan pernikahan dan membentuk keluarga tanpa dibatasi oleh sekat-sekat
agama, etnisitas, maupun status sosial lainnya," kata Usman Hamid.
Psikolog Dr
Risa Permanadeli menyatakan pernikahan beda agama tidak bisa dihindari di
negara majemuk seperti di Indonesia. Oleh sebab itu, Risa menilai sudah saatnya
negara membuka peluang untuk membolehkan pernikahan beda agama.
"Apa
artinya menjadi bangsa yang heterogen dan majemuk? Artinya setiap warga negara,
setiap orang dalam perjalanan menempuh kehidupan di negara ini akan selalu
memiliki kemungkinan dan peluang untuk bertemu dengan orang lain yang berbeda
sekali, entah ras, entah suku, entah bahasa, entah tradisi, entah kepercayaan,
entah agama atau mungkin hal yang sangat sepele seperti selera, apalagi dengan
kehidupan modern di mana semua elemen bertemu seperti arus globalisasi
misalnya," kata Risa.
Ade Armando
memberikan contoh Fatwa MUI DKI Jakarta pada 30 September 1986 yang
mengeluarkan fatwa membolehkan pernikahan beda agama dengan merujuk sejumlah
pandangan ulama. Tapi Fatwa MUI DKI itu dibatalkan belakangan.
"Namun
yang terpenting, MUI DKI pernah mengeluarkan fatwa yang membolehkan pernikahan
beda gama dan bertahan selama 14 tahun. Ini menunjukkan perbedaan penafsiran di
antara ulama sendiri," ucap Ade Armando.
Kontra
Nikah Beda Agama
Ahli dari
Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da'wah) Teten Romly Qomaruddien, mengatakan
persoalan pernikahan beda agama seolah tidak mengenal kata berhenti. Walaupun,
kata Teten, pada dasarnya ajaran Islam telah membedakan dan telah memberikan
aturan yang jelas.
"Selain
terdapat dalil-dalil ayat yang menegaskan haramnya pernikahan beda agama
tersebut, juga adanya riwayat hadits ditambah lagi adanya ijma' para ulama di
setiap zamannya," ungkap Teten
Adapun
Profesor Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Atip Latipulhayat juga
menolak nikah beda agama dengan dalih hak asasi manusia (HAM). Sebab, HAM
bersifat partikular dan tidak universal. HAM tergantung masing-masing negara,
bukan berlaku untuk semua negara.
"Perbedaan
pandangan antara konsep universalisme dan partikularisme HAM sebenarnya sudah
berakhir sejak ditandatanganinya Deklarasi Wina 1993 yang menyatakan bahwa
terdapat pengakuan terhadap adanya standar minimum regional. Deklarasi tersebut
menyatakan pula bahwa penerapan nilai universalisme HAM harus memperhitungkan
juga kondisi setiap negara yang memiliki keberagaman budaya, agama, sosial,
ekonomi, dan politik," kata Atip.
"Jadi
dalam hal ini, kalau dilihat dari hukum Islam bahwa pernikahan itu merupakan
ibadah," kata Neng Djubaedah.
Ahli
psikologi yang dihadirkan pemerintah, Euis Nurlaelawati membeberkan sejumlah
dampak negatif pernikahan beda agama.
"Kalau
kita berbicara terkait dengan aspek-aspek pernikahan di dalam hukum perkawinan,
kita memahami bahwa aspek biologis, ada aspek agama, ada aspek psikologis,
pedagogis, ada aspek politis, ada aspek ekonomi, dan ada aspek
sosiologis," kata Euis.
Euis
menegaskan pernikahan satu agama lebih baik daripada antar agama.
"Jadi,
saya memahami dengan merujuk kepada berbagai aspek tadi, maka perkawinan itu
memang akan bisa berjalan dengan cukup baik jika dilakukan dengan sesama agama.
Dan jika dilakukan dengan orang yang berbeda agama atau pasangan yang beda
agama, maka mungkin kemaslahatan itu akan ada," ujar Euis.
Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menolak tegas legalisasi pernikahan beda
agama. Menurut DDII, alasan HAM tidak bisa dipakai untuk pernikahan beda agama
karena HAM ada batasnya.
"Bagi
Bangsa Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan dengan
sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan yang terkandung dalam
pandangan hidup Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada
dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa
memperhatikan hak orang lain," kata jubir DDII, Abdullah Al Katiri.
Putusan
MK Tahun 2014
Kasus ini
pernah digugat juga pada 2014 dan hasilnya ditolak. Apa alasan MK kala itu?
"Perkawinan
tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat
dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan,
sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh
negara," demikian bunyi pertimbangan MK.
MK
menegaskan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal
perkawinan.
Agama
menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan
pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut
bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan
menjamin keberlangsungan hidup manusia.
"Negara
juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan
bersama dalam tali ikatan perkawinan," urai MK
Konten Terkait
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi periode 2014-2019 Prof. Aswanto dihadirkan Pasangan Calon Nomor urut 2, Ratu Zakiyah-Najib Hamas, dalam sidang pembuktian perselisihan hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Serang
Selasa 11-Feb-2025 20:19 WIB
Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden ini sebenarnya sudah berlaku sejak Pilpres 2009 dengan angka yang berbeda.
Minggu 05-Jan-2025 20:46 WIB
Permohonan judicial review tentang ambang batas pencalonan presiden ke MK itu diinisiasi oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kamis 02-Jan-2025 20:22 WIB
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyatakan bahwa pihaknya akan segera mengkaji putusan MK ini secara mendalam.
Senin 18-Nov-2024 20:16 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan yang diajukan Guy Rangga dan ditolak. Guy meminta syarat usia capres/cawapres menjadi minimal 21 tahun.
Senin 23-Oct-2023 11:31 WIB