Rabu 21-Sep-2022 13:23 WIB
162

Foto : detik
brominemedia.com –
Dunia dalam "bahaya besar dan tak berdaya," tegas Sekjen PBB Antonio
Guterres dalam sesi Sidang Umum PBB ke-77 yang kembali digelar pada hari Selasa
(20/09).
Setelah pandemi COVID-19 membatasi pertemuan tatap muka dua
tahun sebelumnya, kini lebih dari 150 kepala negara dan staf pemerintahan
menghadiri pertemuan tahunan tersebut di New York, Amerika Serikat.
Guterres mengatakan kepada para pemimpin bahwa banyak negara
"terjebak dalam krisis global secara kolosal" dan tidak siap atau
tidak pula bersedia untuk mengatasi tantangan besar yang mengancam masa depan umat
manusia dan nasib planet ini.
"Kepercayaan runtuh, ketidaksetaraan melonjak, planet
kita memanas. Banyak orang terluka dan begitu rentan terhadap penderitaan
ini," tambah Guterres.
Sekjen PBB mengatakan masih ada harapan. Guterres juga
menekankan bahwa kerja sama dan diskusi dialog adalah satu-satunya solusi. Dia
memperingatkan bahwa "tidak ada kuasa pribadi atau kelompok manapun yang
dapat mengatasi ini."
"Mari kita bersama menjadi satu kesatuan, sebagai
koalisi dunia, sebagai negara-negara yang bersatu," desak Sekjen PBB itu
kepada para pemimpin global yang berkumpul di aula Sidang Umum PBB.
Perang di Ukraina dan meningkatnya krisis ekonomi serta
lingkungan menjadi perhatian utama mereka.
Invasi Rusia ke Ukraina adalah tindakan "imperialisme
yang sederhana dan begitu jelas," kata Kanselir Jerman Olaf Scholz saat
Sidang Umum PBB di kota New York pada hari Selasa (20/09).
Scholz dengan tegas mengkritik invasi Rusia ke Ukraina dan
mencela motivasi Vladimir Putin di balik terjadinya perang tersebut.
"Tidak ada pembenaran apapun untuk Rusia berperang melawan Ukraina.
Presiden Putin mengobarkan perang ini dengan satu tujuan, yakni merebut Ukraina."
Scholz juga mengimbau para anggota sidang untuk tidak netral
dalam situasi ini dan menyoroti isu senjata nuklir yang dimiliki oleh Rusia.
"Kita tidak boleh berpangku tangan ketika kekuatan
nuklir besar, dipersenjatai kepada kita (anggota pendiri PBB dan anggota tetap
dewan keamanan PBB), saat Rusia berusaha mengubah perbatasan dengan jalan
kekerasan," tegas Scholz dalam pidatonya.
Kanselir Jerman beberapa kali juga menekankan betapa
pentingnya menegakkan tatanan dunia berdasarkan aturan.
"Alternatif bagi dunia yang berbasis aturan ini adalah
dominasi yang kuat atas yang lemah," Scholz memperingatkan.
"Kembalinya imperialisme bukan hanya bencana bagi Eropa, tetapi juga
bencana bagi tatanan perdamaian global kita," tambahnya.
Scholz mengatakan bahwa Putin berisiko menghancurkan tidak
hanya Ukraina, tetapi juga negaranya sendiri dengan adanya perang ini.
Scholz juga mengecam gagasan Rusia yang mengadakan
referendum di beberapa bagian Ukraina. "Putin hanya akan menghentikan
perang dan ambisi imperialisnya jika dia menyadari bahwa dia tidak akan bisa
menang. Inilah mengapa kami tidak akan menerima perdamaian yang didiktekan oleh
Rusia. Inilah mengapa kami tidak akan menerima referendum megah itu. Dan inilah
mengapa Ukraina harus mampu mempertahankan diri dari invasi Rusia,"
katanya.
Selain itu, dengan isu perubahan iklim sebagai tantangan
terbesar generasi ini, Scholz mengumumkan bahwa Jerman dan negara-negara
industri lainnya kini memiliki tanggung jawab khusus untuk mengatasi masalah
itu dan perlu berdiri bersama negara-negara berkembang yang harus menghadapi akibat
dari perubahan iklim tersebut.
"Kami tidak akan meninggalkan negara-negara yang paling berjuang dalam menghadapi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim ini," Scholz meyakinkan.

Kanselir Jerman itu juga mengumumkan akan adanya perisai global terhadap risiko iklim tersebut, tetapi tidak memberikan rincian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sekjen PBB mengingatkan para pemimpin dunia bahwa krisis iklim juga perlu mendapat perhatian, dan mengatakan bahwa "pencemar harus membayar harganya."
Dia mendesak negara-negara kaya untuk mengenakan pajak keuntungan tak terduga dari perusahaan bahan bakar fosil dan menggunakan uang itu untuk membantu negara-negara yang dirugikan oleh krisis iklim dan orang-orang yang sedang berjuang di tengah kenaikan harga pangan dan energi.
"Industri bahan bakar fosil menikmati ratusan miliar dolar dalam bentuk subsidi dan keuntungan tak terduga sementara anggaran rumah tangga menyusut dan planet kita semakin memanas," kata Guterres.
Sekjen PBB kemudian menjabarkan kemana uang itu harus dibelanjakan.
"Dana itu harus dialihkan dalam dua hal: ke negara-negara yang menderita kerugian dan kerusakan besar akibat krisis iklim; dan ke orang-orang yang sedang berjuang dengan kenaikan harga pangan dan energi."
Konten Terkait
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat pernyataan kontroversial terkait perang di Ukraina, dengan menyebut bahwa Rusia memiliki posisi tawar yang kuat dalam negosiasi untuk mengakhiri konflik.
Kamis 20-Feb-2025 20:28 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat pernyataan kontroversial terkait perang di Ukraina, dengan menyebut bahwa Rusia memiliki posisi tawar yang kuat dalam negosiasi untuk mengakhiri konflik.
Kamis 20-Feb-2025 20:28 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Joe Biden telah mengumumkan sanksi baru pada Jumat (24/2/2023) terhadap Rusia. Sanksi baru tersebut diumumkan terkait peringatan satu tahun invasi Presiden Rusia Vladimir Putin...
Sabtu 25-Feb-2023 06:28 WIB
brominemedia.com-- Negara-negara Afrika yang menghadapi krisis pangan, membutuhkan dukungan likuiditas. Dalam beberapa kasus ada negara yang membutuhkan keringanan utang
Kamis 01-Dec-2022 13:30 WIB
Pertemuan tahunan terbesar para pemimpin global kembali digelar tatap muka, dengan agenda membahas isu krisis dunia dan perang di Ukraina.
Rabu 21-Sep-2022 13:23 WIB