Jumat 08-Aug-2025 21:24 WIB
Foto : suara
Brominemedia.com – Di tengah isak tangis dan teriakan putus asa keluarga korban, sebuah pemandangan tak terduga seketika menggegerkan ruang sidang Pengadilan Militer I-02 Medan, Kamis (7/8/2025).
Saat vonis 2,5 tahun dijatuhkan kepada dua anggota TNI penembak mati seorang siswa SMP, selembar bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami terbentang.
Itu bukan sembarang bendera; itu adalah Jolly Roger dari "One Piece", dan aksinya viral, menjadi simbol perlawanan generasi baru terhadap sistem keadilan yang mereka anggap tumpul.
Aksi nekat ini dilakukan oleh Bonaerges Marbun, seorang aktivis mahasiswa dari Politeknik Medan.
Tepat setelah majelis hakim mengetuk palu, Bona berdiri bersama kakak kandung korban, M. Ilham.
Di saat Ilham meneriakkan protesnya, Bona membentangkan bendera kelompok Bajak Laut Topi Jerami, mengirimkan pesan yang jauh lebih dalam dari sekadar teriakan.
Di Balik Aksi Nekat Sang Aktivis
Bagi mereka yang tidak mengikuti budaya pop, aksi ini mungkin terlihat aneh. Namun bagi jutaan Gen Z dan milenial, pesannya sangat jelas dan kuat. Bona tidak memilih bendera biasa; ia memilih simbol perlawanan terhadap tirani.
"Pelaku sudah membunuh, ini tidak adil," teriak Bona di tengah ruang sidang, sesaat sebelum petugas TNI dengan sigap mengamankannya dan menyeretnya keluar.
Aksi heroik di ruang sidang itu harus dibayar mahal.
Untuk memahami kekuatan aksi ini, kita harus menyelami dunia "One Piece". Serial manga dan anime terpopuler di dunia ini bukan hanya kisah petualangan.
Inti ceritanya adalah perjuangan kelompok kecil yang dipimpin Monkey D. Luffy melawan hegemoni Pemerintah Dunia (World Government), sebuah entitas penguasa absolut yang melindungi kaum elite korup (Naga Langit) dan seringkali mengabaikan keadilan bagi rakyat biasa.
Dengan membentangkan bendera itu, Bona dan kawan-kawan menggunakan bahasa yang paling mereka kuasai, bahasa budaya pop, untuk meneriakkan "Kami melihat ketidakadilan ini, dan kami tidak akan diam."
Aksi protes ini bukanlah tanpa sebab. Kemarahan publik meledak karena vonis yang dianggap tidak sepadan dengan hilangnya nyawa MAF, seorang pelajar berusia 13 tahun.
Vonis 2,5 tahun penjara dan pemecatan untuk Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Francisco Manalu terasa seperti lelucon pahit.
Konten Terkait