Kamis 18-Apr-2024 01:00 WIB
Foto : republikain
Brominemedia.com - Sebagai manusia yang beriman, seorang Muslim memiliki kewajiban untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah, serta mempraktikkan ajaran-Nya dalam setiap aspek kehidupan.
Kewajiban itu tidak hanya melakukan kewajiban ibadah, tetapi juga menjaga hubungan yang baik dengan sesama, memperjuangkan keadilan, dan mengamalkan nilai-nilai moral dalam segala tindakan.
Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata:
"Seorang mukmin, dia selalu merasa takut, selalu beramal untuk mendekatkan diri kepada Allah, selalu menganggap sedikit amal sholeh yang telah ia kerjakan, dan senantiasa khawatir terhadap kejelekan yang dia lakukan meskipun hanya sedikit.” (Fathul Baari 105/11).
Oleh karena itu, ciri-ciri orang beriman dikategorikan menjadi 4, di antaranya:
Pertama, orang yang selalu takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Orang mukmin yang takut kepada Allah menghayati kebesaran-Nya dan menyadari bahwa setiap tindakan mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Takut kepada Allah merupakan salah satu aspek penting dalam iman seorang mukmin. Namun, takut kepada Allah bukanlah sekadar ketakutan akan siksaan-Nya, melainkan ketakutan yang didasari oleh penghargaan, cinta, dan kesadaran akan keagungan-Nya.
Allah berfirman dalam Surat At-Taubah ayat 18:
وَلَمۡ يَخۡشَ اِلَّا اللّٰهَ فَعَسٰٓى أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ
Dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18).
Kedua, orang yang beramal sholeh
Orang yang beriman adalah mereka yang tidak hanya memiliki keyakinan dalam hati tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Amal sholeh adalah manifestasi nyata dari keimanan yang kuat.
Melalui amal sholeh, seseorang menunjukkan ketulusan hatinya kepada Allah dan berusaha untuk memperbaiki diri serta berkontribusi positif dalam masyarakat.
Dengan melakukan amal sholeh, seorang mukmin menggambarkan karakteristik yang esensial dalam Islam, yaitu kesalehan dan kebajikan.
Sebagaimana dalam Surat An-Nahl ayat 97 dijelaskan:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).
Ketiga, selalu menganggap sedikit amal soleh yang telah ia kerjakan
Sebagai seorang mukmin, sifat kesederhanaan dalam menilai amal sholeh yang telah dilakukan adalah ciri yang sangat penting. Kesederhanaan ini tercermin dalam sikap rendah hati dan rendah diri yang membuat seseorang tidak terlalu membesarkan amalannya.
Sebaliknya, ia selalu merasa bahwa amal soleh yang telah dilakukannya masih sangat sedikit dan perlu untuk terus ditingkatkan.
Maimun bin Mihran rahimahullah (seorang tabi'in) berkata:
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ قَلِيلَةٌ
فَأَخْلِصُوا هَذَا الْقَلِيلَ
Sungguh amal kalian itu amatlah sedikit.
Berbuat ikhlaslah untuk yang sedikit ini. (Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah, 4:29).
Sikap ini tercermin dalam banyak hadis Nabi Muhammad SAW yang menekankan pentingnya kesederhanaan dan kerendahan hati.
Keempat, senantiasa khawatir terhadap kejelekan yang dia lakukan meskipun hanya sedikit
Orang-orang seperti ini tidak hanya memperhatikan dosa-dosa besar, tetapi juga mengindahkan tindakan-tindakan kecil yang mungkin diabaikan oleh orang lain. Mereka sadar bahwa kebaikan dan keburukan tidak selalu terkait dengan skala atau besarnya, tetapi tergantung pada niat dan akibatnya.
Dalam pandangan mereka, setiap tindakan memiliki potensi untuk mempengaruhi kebaikan atau keburukan, sehingga mereka berusaha untuk selalu memperhatikan dan memperbaiki diri. Hal ini mencerminkan kesadaran spiritual yang mendalam dan komitmen untuk selalu berada dalam jalan yang benar.
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392, 16/111).
Konten Terkait