Selasa 15-Apr-2025 21:05 WIB
Foto : kontan_co_id
Brominemedia.com – Pada tanggal 20 Januari 2025, salah satu perintah eksekutif pertama yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump adalah mendeklarasikan keadaan "darurat nasional" di sepanjang perbatasan selatan Amerika Serikat.
Perintah eksekutif tersebut mencantumkan sebuah klausul yang menyebutkan kemungkinan untuk "mengaktifkan Undang-Undang Pemberontakan 1807" dan kemungkinan besar akan mengerahkan militer di wilayah AS pada 20 April 2025, sembilan puluh hari setelah perintah tersebut ditandatangani.
Apa Itu Undang-Undang Pemberontakan 1807?
Undang-Undang Pemberontakan 1807 memberikan wewenang kepada Presiden Amerika Serikat untuk menggunakan militer dan Garda Nasional guna menegakkan hukum dalam situasi tertentu, termasuk pemberontakan, pemberontakan sipil, atau kekerasan yang dilakukan oleh warga negara.
Undang-undang ini memungkinkan Presiden untuk menurunkan pasukan militer untuk mengatasi pemberontakan atau kekacauan dalam negeri yang mengancam ketertiban umum.
Secara teknis, Undang-Undang Pemberontakan 1807 memiliki kekuatan untuk mengesampingkan Undang-Undang Posse Comitatus, yang biasanya melarang militer terlibat dalam penegakan hukum sipil di dalam negeri.
Dengan menggunakan Undang-Undang Pemberontakan, Presiden AS sebagai komandan tertinggi angkatan bersenjata memiliki kewenangan penuh untuk menentukan apakah dan kapan militer harus dikerahkan di dalam wilayah AS.
Apakah Undang-Undang Pemberontakan Sama Dengan Hukum Militer (Martial Law)?
Meskipun keduanya melibatkan peran militer dalam penegakan hukum domestik, Undang-Undang Pemberontakan 1807 berbeda dengan hukum militer. Dalam situasi hukum militer, pemerintahan negara dapat sepenuhnya berada di bawah kontrol seorang jenderal militer, yang akan mengambil alih administrasi negara.
Sebaliknya, Undang-Undang Pemberontakan tidak mengizinkan militer untuk menggantikan peran pemerintah sipil, melainkan hanya untuk membantu otoritas sipil dalam menjalankan tugasnya.
Dengan kata lain, hukum militer memungkinkan militer mengontrol urusan sipil dalam keadaan darurat, sementara Undang-Undang Pemberontakan membolehkan militer hanya untuk membantu otoritas sipil dalam menanggulangi gangguan ketertiban, bukan mengambil alih sepenuhnya.
Risiko Penyalahgunaan Undang-Undang Pemberontakan 1807
Banyak pakar hukum yang berpendapat bahwa Undang-Undang Pemberontakan 1807 adalah undang-undang yang sudah usang, tidak jelas, dan memerlukan pembaruan mendesak.
Menurut Brennan Center for Justice, undang-undang ini perlu diperbaharui secara signifikan, karena memberikan wewenang kepada Presiden untuk menggunakan militer terhadap warga negara di dalam negeri.
Ini menjadi masalah besar karena istilah-istilah kunci seperti "pemberontakan", "kekerasan domestik", atau "kekacauan" dalam undang-undang ini tidak didefinisikan dengan jelas, sehingga berpotensi disalahgunakan.
Organisasi ini menegaskan bahwa, meskipun ada situasi tertentu di mana otoritas semacam ini mungkin diperlukan, undang-undang tersebut terlalu luas cakupannya dan sangat berisiko disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politik atau kekuasaan yang tidak sah.
Apa Yang Akan Terjadi pada 20 April 2025?
Dengan semakin mendekatnya tanggal 20 April 2025, banyak pihak yang percaya bahwa Presiden Trump mungkin benar-benar mengaktifkan Undang-Undang Pemberontakan dan mengerahkan militer di sepanjang perbatasan selatan AS.
Pada 22 Januari 2025, dua hari setelah perintah eksekutif tersebut ditandatangani, Departemen Pertahanan AS mengumumkan akan mengirimkan 1.500 anggota aktif militer ke perbatasan selatan bersama dengan tambahan pasukan udara dan aset intelijen untuk membantu agen-agen federal dalam menegakkan keamanan perbatasan.
Pada 29 Januari 2025, Sekretaris Pertahanan Pete Hegseth mengonfirmasi bahwa departemennya berencana menempatkan hingga 30.000 migran kriminal di Guantanamo Bay, Kuba, mengikuti arahan Presiden yang akan menandatangani perintah eksekutif untuk melaksanakan langkah tersebut.
Namun, sejak itu, belum ada pembaruan signifikan yang diberikan kepada publik.
Sekretaris Pertahanan dan Sekretaris Keamanan Dalam Negeri masih belum menyerahkan laporan akhir mereka kepada Presiden untuk menilai kondisi yang ada di perbatasan selatan, yang membuat banyak pihak merasa khawatir bahwa penerapan Undang-Undang Pemberontakan mungkin menjadi jalan keluar untuk mencapai "kendali penuh atas perbatasan selatan", yang menjadi tujuan utama pemerintahan saat ini.
Konten Terkait