Foto : harianjogja
brominemedia.com
-Dunia anak-anak adalah permainan. Itulah sebabnya, sudah seharusnya jika
mereka berhak mengakses mainan pembelajaran yang berkualitas. Inilah yang jadi
alasan bagi Nathania Tifara yang memiliki keterbatasan fisik untuk membuat
mainan yang sehat dan berkualitas bagi anak.
Pengalaman masa kecil membawa Nathania menciptakan mainan
yang ramah anak, bahkan untuk difabel.
Di salah satu hotel dekat Malioboro, Nathania dan dua
rekannya membuka stan produk mainan anak. Ada kartu kuartet, buku cerita biasa,
buku cerita interaktif, sampai peta budaya Indonesia dengan unsur magnet.
Saat sedang bercengkerama dengan teman atau pengunjung stan,
Nathania perlu beberapa kali menyondongkan kepalanya ke rekan bicara. Dia
berusaha mendengar suara secara lebih jelas. Gangguan pendengaran membuatnya
perlu lebih cermat dengan gerak bibir ataupun detail suara di sekitar.
Dia ingat betul saat berusia empat tahun dan masih berada di
Amerika Serikat, penyakit meningitis membuat pendengarannya tak lagi sama.
Kembalinya ke Indonesia membuat pembelajaran bahasa berawal dari nol lagi.
Saat itu, ibunya lah yang berjasa mengenalkan model belajar
yang lebih mengutamakan visual.
Sekitar 1990-an, di Indonesia belum ada buku dan mainan
pembelajaran anak yang memadai. Alhasil, ibu Nathania harus membeli mainan
pembelajaran dari luar negeri.
“Ibuku nyari buku dari luar negeri, kemudian difotokopi,
diganti bahasa Indonesia buat belajar Bahasa Indonesia. Beberapa alat juga
dibuat sendiri, seperti kartu yang digambar dengan spidol,” kata Nathania saat
ditemui di Ayaartta Hotel Malioboro, Jogja, Sabtu (4/2/2023).
Manfaatin gadgetmu untuk dapetin penghasilan tambahan. Cuma modal sosial media sudah bisa cuan!
Gabung bisnis online tanpa modal di http://bit.ly/3HmpDWm
Kedekatan Nathania dengan gambar membawanya kuliah jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Pelita Harapan, Tangerang. Selepas lulus, dia bekerja di agensi dan majalah Bobo sebagai desainer grafis.
Pekerjaan ini membuatnya dekat dengan dunia anak dan guru. Dalam perjalannya, Nathania tahu salah satu masalah di dunia pendidikan anak berupa bahan ajar dan mainan yang terbatas. Sekalinya ada, kualitasnya tidak sama dengan di luar negeri.
Apabila melulu impor, ada beberapa hal yang tidak sinkron. Misalnya gambaran polisi di Amerika Serikat berseragam biru, sementara di Indonesia cokelat. Anak justru menjadi bingung. Untungnya Nathania sempat bekerja di agensi desain, yang terbiasa memecahkan masalah klien.
Belum lagi kenangan masa kecil bahwa bahan ajar yang ibunya buat juga dibutuhkan oleh orang tua lainnya. Ada pekerjaan rumah besar berupa membuat mainan yang enak, tapi secara tidak sadar anak juga bisa sembari belajar darinya.
Guru Bumi
Pada 2016, Nathania terpikir untuk membuat kartu kuartet. Isinya berupa huruf abjad beserta contoh penggunaan dalam kata dan visualisasinya. Ada pula kartu kuartet bertema budaya Indonesia.
“Kami beranikan diri memperlihatkan produk itu ke pasar, meski waktu itu belum paham bisnis, promosi, dan lainnya. Awalnya berkunjung ke sekolah-sekolah. Barulah pada 2018 ada nama Guru Bumi,” kata perempuan berusia 34 tahun ini.
Guru Bumi kini beranggotakan lima orang. Mereka yang kebanyakan memiliki skill desain grafis mengembangkan berbagai jenis produk.
Adapun jenis produknya, semua akan merujuk pada tema kelokalan Indonesia, literasi dini, dan lingkungan. Mereka juga berkolaborasi dengan seniman atau tenaga teknis lain. Meski ada banyak koleborasi, tetapi temanya tetap merujuk pada tiga hal tersebut.
Dalam setiap memproduksi mainan pembelajaran, Guru Bumi berupaya menjangkau kebutuhan semua jenis anak, baik umum maupun difabel. Salah satunya dengan desain yang simpel, ukuran besar, dan kalimat yang sederhana.
Nathania Tifara (tengah) menunjukkan produk mainan Guru Bumi./Harian Jogja-Sirojul Khafid
Tantangannya, kata dia, adalah membuat mainan pembelajaran yang bisa mewadahi anak-anak segala umur, juga membuat senang orangtuanya. Meski ini mainan untuk anak, orangtua juga perlu suka lantaran mereka yang akan menemani bermain.
Meski dalam perjalanannya, justru banyak mahasiswa serta orang dewasa dan orang tua yang membeli beberapa produk Guru Bumi. Mereka biasanya membeli kartu kuartet.
“Sebagai orang [yang berkarya di bidang] kreatif, saya berharap anak Indonesia bisa mendapatkan permainan yang bervareasi dan sesuai dengan keseharian mereka. Guru Bumi [berusaha] agar Indonesia punya budaya edukasi yang berkualitas, enggak melulu beli [produk] dari luar negeri,” katanya.
Seperti namanya, kata Guru sebagai upaya membuat semua orang bisa menjadi guru. Melalui mainan pembelajaran ini pula, anak bisa lebih mengenal alam dan unsur lainnya.
Sementara kata Bumi sebagai representasi sumber pengetahuan di Bumi yang melimpah dan tak terbatas.
Tidak berbeda seperti siang itu, peran guru seketika tersemat pada Nathania dan teman-temannya. Dari yang sebelumnya menjaga stan, mereka perlu seketika bermain dan mengajari anak-anak yang datang memainkan produk mereka.
Konten Terkait
Anak-anak berhak mengakses mainan pembelajaran yang bervariasi dan berkualitas, tidak hanya deretan kata. Semua berawal dari kenangan masa kecil.
Senin 27-Feb-2023 07:57 WIB
Anak-anak berhak mengakses mainan pembelajaran yang bervariasi dan berkualitas, tidak hanya deretan kata. Semua berawal dari kenangan masa kecil.
Senin 27-Feb-2023 07:57 WIB
Anak-anak berhak mengakses mainan pembelajaran yang bervariasi dan berkualitas, tidak hanya deretan kata. Semua berawal dari kenangan masa kecil.
Senin 27-Feb-2023 07:57 WIB