Senin 27-Feb-2023 07:57 WIB
106

Foto : harianjogja
brominemedia.com--Dunia anak-anak adalah permainan. Itulah sebabnya, sudah
seharusnya jika mereka berhak mengakses mainan pembelajaran yang berkualitas.
Inilah yang jadi alasan bagi Nathania Tifara yang memiliki keterbatasan fisik
untuk membuat mainan yang sehat dan berkualitas bagi anak.
Pengalaman masa kecil membawa Nathania menciptakan mainan
yang ramah anak, bahkan untuk difabel.

Di salah satu hotel dekat Malioboro, Nathania dan dua
rekannya membuka stan produk mainan anak. Ada kartu kuartet, buku cerita biasa,
buku cerita interaktif, sampai peta budaya Indonesia dengan unsur magnet.
Saat sedang bercengkerama dengan teman atau pengunjung stan,
Nathania perlu beberapa kali menyondongkan kepalanya ke rekan bicara. Dia
berusaha mendengar suara secara lebih jelas. Gangguan pendengaran membuatnya
perlu lebih cermat dengan gerak bibir ataupun detail suara di sekitar.
Dia ingat betul saat berusia empat tahun dan masih berada di
Amerika Serikat, penyakit meningitis membuat pendengarannya tak lagi sama.
Kembalinya ke Indonesia membuat pembelajaran bahasa berawal dari nol lagi.
Saat itu, ibunya lah yang berjasa mengenalkan model belajar
yang lebih mengutamakan visual.
Sekitar 1990-an, di Indonesia belum ada buku dan mainan
pembelajaran anak yang memadai. Alhasil, ibu Nathania harus membeli mainan
pembelajaran dari luar negeri.
“Ibuku nyari buku dari luar negeri, kemudian difotokopi,
diganti bahasa Indonesia buat belajar Bahasa Indonesia. Beberapa alat juga
dibuat sendiri, seperti kartu yang digambar dengan spidol,” kata Nathania saat
ditemui di Ayaartta Hotel Malioboro, Jogja, Sabtu (4/2/2023).
Kedekatan Nathania dengan gambar membawanya kuliah jurusan
Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Pelita Harapan, Tangerang.
Selepas lulus, dia bekerja di agensi dan majalah Bobo sebagai desainer grafis.
Pekerjaan ini membuatnya dekat dengan dunia anak dan guru.
Dalam perjalannya, Nathania tahu salah satu masalah di dunia pendidikan anak
berupa bahan ajar dan mainan yang terbatas. Sekalinya ada, kualitasnya tidak
sama dengan di luar negeri.
Apabila melulu impor, ada beberapa hal yang tidak sinkron.
Misalnya gambaran polisi di Amerika Serikat berseragam biru, sementara di
Indonesia cokelat. Anak justru menjadi bingung. Untungnya Nathania sempat
bekerja di agensi desain, yang terbiasa memecahkan masalah klien.
Belum lagi kenangan masa kecil bahwa bahan ajar yang ibunya
buat juga dibutuhkan oleh orang tua lainnya. Ada pekerjaan rumah besar berupa
membuat mainan yang enak, tapi secara tidak sadar anak juga bisa sembari
belajar darinya.
Guru Bumi
Pada 2016, Nathania terpikir untuk membuat kartu kuartet.
Isinya berupa huruf abjad beserta contoh penggunaan dalam kata dan
visualisasinya. Ada pula kartu kuartet bertema budaya Indonesia.
“Kami beranikan diri memperlihatkan produk itu ke pasar,
meski waktu itu belum paham bisnis, promosi, dan lainnya. Awalnya berkunjung ke
sekolah-sekolah. Barulah pada 2018 ada nama Guru Bumi,” kata perempuan berusia
34 tahun ini.
Guru Bumi kini beranggotakan lima orang. Mereka yang
kebanyakan memiliki skill desain grafis mengembangkan berbagai jenis produk.
Adapun jenis produknya, semua akan merujuk pada tema
kelokalan Indonesia, literasi dini, dan lingkungan. Mereka juga berkolaborasi
dengan seniman atau tenaga teknis lain. Meski ada banyak koleborasi, tetapi
temanya tetap merujuk pada tiga hal tersebut.
Dalam setiap memproduksi mainan pembelajaran, Guru Bumi
berupaya menjangkau kebutuhan semua jenis anak, baik umum maupun difabel. Salah
satunya dengan desain yang simpel, ukuran besar, dan kalimat yang sederhana.
Tantangannya, kata dia, adalah membuat mainan pembelajaran
yang bisa mewadahi anak-anak segala umur, juga membuat senang orangtuanya.
Meski ini mainan untuk anak, orangtua juga perlu suka lantaran mereka yang akan
menemani bermain.
Meski dalam perjalanannya, justru banyak mahasiswa serta
orang dewasa dan orang tua yang membeli beberapa produk Guru Bumi. Mereka
biasanya membeli kartu kuartet.
“Sebagai orang [yang berkarya di bidang] kreatif, saya
berharap anak Indonesia bisa mendapatkan permainan yang bervareasi dan sesuai
dengan keseharian mereka. Guru Bumi [berusaha] agar Indonesia punya budaya
edukasi yang berkualitas, enggak melulu beli [produk] dari luar negeri,”
katanya.
Seperti namanya, kata Guru sebagai upaya membuat semua orang
bisa menjadi guru. Melalui mainan pembelajaran ini pula, anak bisa lebih
mengenal alam dan unsur lainnya.
Sementara kata Bumi sebagai representasi sumber pengetahuan
di Bumi yang melimpah dan tak terbatas.
Tidak berbeda seperti siang itu, peran guru seketika
tersemat pada Nathania dan teman-temannya. Dari yang sebelumnya menjaga stan,
mereka perlu seketika bermain dan mengajari anak-anak yang datang memainkan
produk mereka.
Konten Terkait
Wali Kota Jogja Hasto Wardoyo menyebut sebanyak 28 kelurahan masih berstatus zona kuning dalam sistem pengelolaan sampah. Sementara, 17 kelurahan lainnya sudah
Selasa 08-Apr-2025 20:27 WIB
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diperkirakan bakal kedatangan jutaan pemudik pada momen Idulfitri 1446 Hijriah.
Senin 17-Mar-2025 20:35 WIB
Pihaknya menunggu dalam kurun waktu dua pekan surat permohonan dialog tidak ada respon, maka dia bersama keluarga korban akan menempuh jalur hukum.
Jumat 31-Jan-2025 20:23 WIB
Upacara Labuhan digelar satu hari setelah puncak acara Jumenengan Dalem (29 Rejeb) sehingga jatuh pada tanggal 30 Rejeb.
Kamis 30-Jan-2025 20:27 WIB
Meski luka tinggal 10 persen, kata Banu, luka tersebut cukup berat dan berada di grade tiga, khususnya di bagian mata.
Jumat 03-Jan-2025 22:12 WIB