Selasa 04-Nov-2025 20:54 WIB
Foto : wartakota
Brominemedia.com - Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Karawang mendadak hening sore itu. Neni Nuraeni (37), seorang ibu rumah tangga yang juga tengah menyusui, tak kuasa menahan tangisnya saat menjalani sidang lanjutan perkara fidusia, Selasa (4/11/2025).
Tangis Neni pecah ketika menjawab pertanyaan majelis hakim yang dipimpin Nely Andriani dengan anggota Muhammad Arif Nahumbang Harahap dan Handika Rahmawan.
Dalam sidang, penasihat hukumnya, Syarif Hidayat, bertanya mengenai kondisi Neni selama menjadi tahanan di Rutan Lapas Karawang selama sepekan.
“Selama di lapas, saya disuruh... disuruh pijit semua penghuni kamar di sana,” ucap Neni dengan suara terbata-bata sambil menyeka air mata.
Suasana ruang sidang makin haru ketika Syarif menanyakan hubungan Neni dengan suaminya.
“Terus terang saya mau, niat menggugat cerai. Dia (suami) memang keras, terkadang suka mukul juga,” kata Neni.
“Tempramental?” tanya penasihat hukum.
“Iya, kadang-kadang begitu. Jadi setiap ada yang utang-utang itu dia gak mau nemuin, jadi aku aja,” jawabnya lirih.
Neni juga mengaku tidak tahu menahu soal utang-utang suaminya. “Gak tau, bilangnya buat bisnis, bisnis,” tambahnya.
Pasal Fidusia dan Penggelapan
Neni ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus fidusia setelah mobil yang dikredit atas namanya diduga dialihkan tanpa izin kepada pihak lain.
Ia sempat ditahan sejak 22 Oktober 2025 malam, namun majelis hakim kemudian mengubah statusnya menjadi tahanan rumah pada Kamis (30/10/2025).
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum menjerat Neni dengan Pasal 36 Undang-undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
Namun, kuasa hukumnya, Syarif Hidayat, menilai penerapan dua pasal tersebut keliru dan tidak adil bagi kliennya.
Menurut Syarif, Neni hanya korban dari tindakan suaminya, Deni, yang mengurus seluruh proses pengajuan kredit mobil sejak tahun 2022.
“Mulai dari pemberkasan, pemilihan unit, sampai pembayaran DP semuanya dilakukan suaminya. Ibu Neni tidak tahu, hanya dipakai namanya saja,” ujar Syarif.
Awalnya, kata dia, pengajuan kredit atas nama Deni ditolak oleh pihak Adira Finance karena masalah BI checking. Kemudian disarankan agar menggunakan nama istrinya, Neni.
“Artinya ibu Neni hanya dijadikan formalitas administrasi, tanpa tahu detail transaksi maupun pengalihan kendaraan,” jelasnya.
Syarif menegaskan, kasus yang menimpa kliennya seharusnya tidak serta merta dijerat dengan pidana penggelapan.
“Fidusia itu lex specialis, artinya bersifat khusus. Tidak bisa dicampur dengan KUHP umum. Ini cacat formil karena penerapan pasalnya keliru,” ucapnya.
Menurut Syarif, sengketa fidusia seharusnya lebih dulu diselesaikan melalui jalur perdata sebelum naik ke pidana umum.
“Polisi mestinya mengarahkan ke perdata dulu. Kalau belum selesai di perdata, jangan langsung pidana,” pungkasnya.
Konten Terkait