Selasa 14-Mar-2023 01:39 WIB
167
Foto : wartakota
brominemedia.com -
Seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Depok berhasil perjuangkan
haknya untuk dapatkan pesangon melalui persidangan Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI).
Sosok itu bernama Subuh Widhyono, seorang dokter spesialis
anastesi yang bekerja selama 17 tahun mendapat hak pesangonnya.
Namun, usahanya untuk dapat haknya melalui persidangan PHI
ini menemui jalan panjang saat mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri
Bandung.
"Awalnya beberapa dokter melakukan gugatan di
pengadilan tapi tidak ada satu pun yang dikabulkan. Saat proses persidangan PHI
Pengadilan Negeri Bandung hakim masih meraba-raba"
"Apakah dokter ini pekerja atau bukan sehingga mereka
itu menafsirkan yang namanya pekerja itu harus ada kontrak," katanya kuasa
hukum dokter Subuh, Odie Hudiyanto di Jakarta, Senin (13/3/2023).
Dalam gugatannya yang bernomor 111/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Bdg,
hakim menolak seluruh gugatan tersebut.
Namun, usaha Subuh untuk mendapatkan haknya tak berhenti
sampai di situ.
Saat gugatan itu ditolak dalam sidang PHI, terdapat
multitafsir soal profesi kedokteran.
Manfaatin gadgetmu untuk dapetin penghasilan tambahan. Cuma modal sosial media sudah bisa cuan!
Gabung bisnis online tanpa modal di http://bit.ly/3HmpDWm
Namun, perbedaan tafsir profesi kedokteran itu terjawab saat Subuh saat mengajukan kasasi di Mahkamah Agung.
"Mahkamah Agung RI melalui putusan nomor 36K/Pdt.Sus-PHI/2023 tertanggal 31 Januari 2023 menyatakan dokter termasuk pekerja yang tunduk pada aturan ketenakerjaan," terang Odie.
Menurut Odie, Majelis Hakim di PHI Bandung kaku menafsirkan jika seseorang bisa dikategorikan pekerja apabila memiliki jam kerja sebanyak 40 jam dalam seminggu.
"40 jam kerja dalam seminggu adalah aturan maksimal. Kelebihan jam kerja diatas 40 jam itu dihitung sebagai kerja lembur."
"Sementara jika seorang dokter bekerja kurang dari 40 jam seminggu bukan masalah dan tak ada larangan atau pelanggaran hukum jika jam kerja kurang dari 40 jam seminggu," jelasnya.
Atas perbedaan tafsir itu, Majelis Hakim Kasasi akhirnya sependapat dengan uraian disampaikan di dalam memori kasasi Mahkamah Agung.
"Karena selama ini pekerjaan dokter itu bias, apakah dia pekerja apakah dia sebagai profesional atau bukan?"
"Namun dipatahkan melalui putusan MA bahwa dokter masuk dalam kategori pekerja," imbuhnya.
Odie mengungkapkan, perjanjian kerja antara Subuh dan pihak rumah sakit tersebut terjalin sejak 2007.
Sebagai dokter anastesi, Subuh baru melakukan praktik jika diperintahkan pihak rumah sakit atau bersifat by project.
Namun, selama kerja sama 12 tahun itu terhenti akibat pihak rumah sakit putuskan tak lagi kerja sama dengan Subuh dengan alasan efisiensi.
Dalam perjalanannya, Subuh telah bekerja selama 12 tahun dengan di sebuah rumah sakit swasta kawasan Depok, Jawa Barat.
Dalam setiap pekerjaannya, ia mendapat upah apabila pihak rumah sakit memerlukan jasanya dalam setiap tindakan medis.
"Sejak bekerja di tahun 2007 hingga 2019 itu mendapat upah sebesar 35 Juta per bulan. Dan itu diakui pihak RS bahwa dokter Subuh bekerja selama 2007-2019 sehingga itu menjadi bukti di Pengadilan," katanya.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Kasasi berpendapat jika rumah sakit tersebut telah mengakui dan membenarkan jika dokter Subuh Widhyono telah bekerja sebagai dokter spesialis anastesi.
Adapun pekerjaan yang dilakukan adalah memberikan pelayanan medis bidang anastesiologi kepada pasien terhitung dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2019 dan memperoleh upah setiap bulannya sebesar Rp35.000.000.
Atas pertimbangan itu, pihak rumah sakit wajib membayar uang pesangon ditambah uang masa kerja dengan total nilai nominal Rp 455.000.000.
Konten Terkait
Seorang dokter spesialis anastesi yang bekerja selama belasan tahun di sebuah rumah sakit swasta kawasan Depok kini berhasil mendapatkan haknya.
Selasa 14-Mar-2023 01:39 WIB