PERISTIWA

Kisah Patung Moai, Terjepit antara Peternakan Sapi dan Pelestarian Situs Arkeologi

Rabu 07-Dec-2022 12:30 WIB 143

Foto : tempo

brominemedia.com - Patung-patung batu raksasa Moai di Pulau Paskah, yang hangus terbakar,  adalah tanda-tanda meningkatnya ketegangan antara pemilik tanah dan pelestari lingkungan di pulau kecil terpencil di tengah Pasifik ini.

Pulau Paskah yang telah menjadi wilayah Cile sejak 1880-an ini dikenal oleh penduduk aslinya sebagai Rapa Nui dan terkenal dengan sosok patung batu berbentu manusia berukuran besar yang diukir berabad-abad lalu oleh nenek moyang mereka.

Pulau seluas 164 kilometer persegi - kira-kira seluas Kota Bandung - telah mengalami peningkatan ketegangan dalam beberapa tahun terakhir antara keluarga tua yang ingin beternak sapi di tanah leluhur mereka dan pihak berwenang yang berfokus pada konservasi.

Di satu sisi adalah sekelompok keluarga di bawah panji parlemen Rapa Nui, terusan dari dewan tetua sebelumnya, yang ingin kembali ke sistem klan kuno untuk membagi tanah.

Di sisi lain adalah ahli konservasi dan dewan terpilih yang bertugas mengelola taman nasional seluas separuh pulau dan dihiasi dengan patung Moai. Mereka mengatakan beberapa orang menggunakan lahan taman untuk peternakan sapi, terkadang menyebabkan kebakaran.

“Kami telah melihat peningkatan eksponensial dalam peternakan dan pertanian, terutama sejak dimulainya pandemi,” kata Merahi Atam, seorang arkeolog setempat.

Pada bulan Oktober, para peternak membakar padang rumput memicu kebakaran hutan yang mengoyak kawah gunung berapi Rano Raraku di pulau itu dan merusak beberapa Moai.

Karhutla Meningkat

Data pemerintah Chili menunjukkan kebakaran hutan di Pulau Paskah telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan dua tahun terakhir mencatat rekor terbanyak sejak tahun 1990-an.

Jumlah ternak di pulau itu meningkat menjadi lebih dari 6.000 dari 3.400 pada 1966, dan mereka digembalakan di hampir 80% luas taman nasional, menurut sebuah studi tentang ternak di pulau itu oleh University of Chile.

Ribuan mil lautan memisahkan Rapa Nui dari tetangga benua terdekatnya dan pulau ini telah memesona pengunjung dan arkeolog selama beratus tahun dengan Moai batu raksasanya.

Berukuran hingga 20 meter dan berat puluhan ton, ratusan patung berkepala besar ini diukir langsung dari tambang batu dan tersebar di seluruh pulau.

Patung-patung itu selamat dari kelaparan, perang, epidemi, dan kolonisasi selama berabad-abad, sementara populasi pulau itu berfluktuasi dari ambang kehancuran menjadi sekitar 8.000 pada tahun 2022.

Penduduk telah lama berjuang untuk mendapatkan lebih banyak otonomi atas pulau itu sampai akhirnya negara Chili setuju untuk mulai mengalihkan kendali atas taman tersebut pada 2016.

Dewan Ma'u Henua yang dipilih secara lokal ditetapkan untuk mengambil kendali administratif penuh atas taman tersebut pada  2025, dengan fokus pada perlindungan lingkungan dan situs arkeologi serta mengelola pariwisata.

Tetapi beberapa penduduk pulau malah ingin kembali ke sistem klan yang ada sebelum perjanjian tahun 1888 antara salah satu raja terakhir Rapa Nui dan Cile.

"Setiap klan memiliki tanah di pulau ini dan pembagiannya oleh raja," kata Juan Tucki, anggota parlemen yang memelihara ternak di sebidang tanah dekat gunung berapi.

"Kita harus menghormati hierarki itu."

Tucki mengatakan pihak berwenang diberitahu tentang pembakaran padang rumput pada bulan Oktober dan gagal mempersiapkannya.

Max Ariki, seorang petugas pemadam kebakaran, mengatakan pihaknya kekurangan dana dan kesiapan operasional. Dia mengatakan lebih banyak dana telah datang sejak Oktober, termasuk brigade kedua, tetapi pemotongan padang rumput untuk melindungi gunung berapi dan situs arkeologi tidak dipelihara selama dua tahun.

"Sesuatu yang buruk harus terjadi agar mereka menyadari bahwa kita ada di pulau ini," kata Ariki. "Menyakitkan, tapi berkat api itu mereka mengirim lebih banyak sumber daya."

Petero Edmunds, walikota Rapa Nui sejak 2012, menyalahkan Perusahaan Eksploitasi Pulau Paskah Inggris-Chile karena memperkenalkan ternak lebih dari seabad yang lalu dan negara serta militer karena menawarkan ternak kepada penduduk pulau setelah badan pembangunan negara pergi pada 1980-an.

Atam, sang arkeolog, percaya bahwa dialog dan pendidikan tentang kerusakan akibat kebakaran hutan dan erosi akibat ternak akan membantu meyakinkan penduduk setempat untuk menghentikan praktik perusakan situs arkeologi di seluruh pulau.

Tucki, yang mengklaim bahwa dia adalah keturunan langsung dari salah satu raja terakhir Rapa Nui, setuju bahwa situs arkeologi dipertahankan, tetapi sebagian besar tanahnya harus untuk rakyat. "Wilayah itu milik keluarga," katanya.

Share:

Konten Terkait

PENDIDIKAN Kisah Inspiratiif Rahmayani, Anak Petani dari Dairi Lulus SNBP di UPI Bandung

Ada banyak cara agar mereka bisa berkuliah di perguruan tinggi favorit. Salah satunya dengan menjadi siswa berprestasi dan masuk ke universitas favorit dengan jalur prestasi.

Senin 07-Apr-2025 20:33 WIB

PERISTIWA Kisah Agus Sutikno, Pendeta Jalanan Yang Sekolahkan Ratusan Anak Sampai Sarjana di Semarang

Bergaya nyentrik penuh tato di tubuhnya, pendeta Agus Sutikno ternyata punya ratusan anak angkat yang berhasil disekolahkan sampai sarjana di Semarang

Selasa 04-Feb-2025 20:34 WIB

TRAVEL Kisah Jurnalis New York Times yang Takjub pada Yogyakarta, Apa Saja yang Dilihatnya?

Center of universe atau pusat alam semesta. Demikian Jurnalis New York Times, Scott Mowbray meromantisasi Kota Yogyakarta.

Senin 27-Jan-2025 20:24 WIB

PERISTIWA Soal Dugaan Penghinaan, Penyanyi Liliz Rl Akui Tak Kenal Patung Johannes Leimena

Saat dikonfirmasi TribunAmbon.com, Sang pelaku, Liliz Rl, akhirnya buka suara dan membantah sengaja menghina patung tersebut

Kamis 16-Jan-2025 20:40 WIB

PERISTIWA SAMPAH Kiriman Jadi Sumber Kehidupan, Giri Prasta Kisahkan, Sebut Rencana Datangkan Kapal Penangkap

Permasalahan sampah yang menepi di sepanjang pantai di Badung sering terjadi setiap tahun.

Jumat 03-Jan-2025 22:12 WIB

Tulis Komentar