Minggu 23-Nov-2025 20:19 WIB
Foto : tempo
Brominemedia.com - Sorot mata Muhammad Al Faqry Hasanuddin, 12 tahun, selalu berbinar saat bercerita. Bicaranya cepat, penuh energi, seperti sedang mengejar mimpinya sendiri. Dari raut wajah cerianya, tak ada yang menyangka bahwa bocah yang kini duduk di bangku Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 26 Ternate itu menyebut dirinya sebagai anak jungle.
“Aku ini anak jungle, karena hidup berbaur dengan hutan juga,” ujarnya sembari tertawa lebar, memamerkan gigi rapi yang tumbuh seperti optimisme dalam dirinya.
Julukan anak jungle bukan tanpa alasan. Faqry adalah pemanjat ulung; atap rumah, tiang listrik, hingga pohon nangka, semuanya pernah ia taklukkan. Dari atas, katanya, dunia terlihat lebih seru. Tak hanya memanjat, ia juga kerap menyelam mencari ikan Nemo untuk dijual bekal uang jajan sekaligus petualangan masa kecilnya.
Semangat untuk memanjat apa pun itu seakan mencerminkan perjalanan pendidikannya. Ketika ia mendaftar di Sekolah Rakyat, keyakinan dalam dirinya seolah memanjat sebuah tangga baru. Tak butuh waktu lama, ia terpilih sebagai Ketua OSIS.
“Sempat bingung bagaimana cara mengatur teman-teman. Tapi sekarang sudah lebih mudah karena dibantu juga sama mereka,” ungkapnya.
Ada perubahan besar sejak ia bergabung dengan Sekolah Rakyat: kemampuan berbahasa Indonesia-nya meningkat pesat. Ia tersenyum kecil saat mengingat awal pertemuan dengan teman-temannya.
“Dulu masih campur-campur, pakai bahasa daerah dan logat kental. Sekarang lebih lancar. Soalnya setiap hari di sekolah harus pakai Bahasa Indonesia.”
Sistem pembelajaran di Sekolah Rakyat dirasanya berbeda—lebih manusiawi, lebih dekat dengan kehidupan siswa, dan memberi ruang pada minat serta cita-cita. Kepada gurunya, Faqry pernah berkata bahwa ia ingin jadi dokter bedah. Tak ada yang menertawakan. Justru ia mendapatkan dukungan.
Para guru menyarankan Faqry memperkuat pelajaran IPA, Bahasa Inggris, serta kemampuan berbicara di depan umum. Baginya, itu bukan beban, melainkan peta menuju masa depan.
“Aku rasa sekolah rakyat ini penting untuk bangun karakter diri. Biar lebih tahu cara bersikap, terutama pada yang lebih tua.”
Dalam perjalanan hidupnya, keluarga menjadi landasan yang menanamkan sopan santun dan keteguhan hati. Ayahnya adalah seorang penjahit dengan penghasilan tak menentu hanya datang ketika ada pesanan. Meski hidup sederhana, seluruh kakaknya berhasil kuliah berkat beasiswa. Fakta itu menjadi bukti dalam benak Faqry bahwa pendidikan dapat mengubah masa depan.
Pertemuan dengan Sekolah Rakyat bermula dari kunjungan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) ke rumah. Rasa penasaran muncul, apalagi setelah mendengar sistem belajar di sekolah tersebut berbeda dari sekolah lain. Ibunya pun memberi dukungan penuh.
“Katanya sekolah itu bisa bikin hidup lebih pasti. Di sana, Adek lebih terjamin masa depannya,” ucapnya menirukan kata-kata sang ibu.
Di akhir ceritanya, Faqry menyelipkan doa sederhana
doa anak kecil yang tak meminta banyak, hanya kesempatan untuk bermimpi dan mewujudkannya.
“Semoga Bapak Prabowo sama Bapak Menteri sehat-sehat, rezekinya banyak, visi-visinya diselesaikan, dan jadi pemimpin yang baik untuk membangun negeri. Aamiin.”
Kisah Faqry bukan sekadar perjalanan seorang anak dari hutan menuju ruang kelas. Ia adalah gambaran harapan: bahwa setiap anak, dari pelosok mana pun, berhak bermimpi dan mimpi itu layak diperjuangkan.
Konten Terkait