Kamis 24-Apr-2025 20:39 WIB
Foto : beritajatim
Brominemedia.com – Universitas Islam Malang (Unisma) menjadi tuan rumah dalam Seminar Nasional bertema “Reformasi KUHAP: Menyongsong Era Baru Peradilan Pidana yang Progresif dan Berkeadilan” yang digelar pada Kamis (24/4/2025).
Forum ini menjadi panggung bagi para akademisi untuk menyoroti sejumlah persoalan krusial dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas di parlemen.
Tiga pakar hukum dihadirkan sebagai narasumber, yakni Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan, SH, MS; Dr. Sholehuddin, SH, MH; dan Dr. Prija Djatmika, SH, MS. Ketiganya menyoroti secara tajam adanya tumpang tindih kewenangan antar Aparat Penegak Hukum (APH) serta lemahnya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dalam draf regulasi tersebut.
Dekan Fakultas Hukum Unisma, Arfan Kaimuddin, S.H., M.H., menyatakan bahwa kalangan akademisi harus terus mengawal proses legislasi demi mencegah regulasi yang justru merugikan pencari keadilan. “RUU KUHAP ini menyimpan sejumlah pasal yang tumpang tindih. DPR memang sudah mulai merespons, tapi pekerjaan rumah masih banyak, terutama menyangkut perlindungan HAM,” kata Arfan.
Ia menambahkan bahwa substansi pasal mengenai restorative justice dan penanganan kasus narkoba masih memerlukan kejelasan hukum yang tegas. “Beberapa pasal masih gagu, khususnya terkait penyelidikan dan penyidikan. Ini berbahaya jika tak diatur secara spesifik,” imbuhnya.
Sementara itu, Dr. Prija Djatmika dari Universitas Brawijaya menyoroti minimnya pelibatan publik dalam penyusunan RUU KUHAP. Menurutnya, pembahasan regulasi fundamental seperti ini harus disertai transparansi dan partisipasi luas.
“RUU KUHAP harus melindungi hak semua pihak, baik korban maupun pelaku. Jangan sampai disahkan tanpa kajian mendalam dan partisipasi publik yang transparan,” ujarnya.
Senada, Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan menggarisbawahi pentingnya pembagian fungsi yang tegas antar aparat penegak hukum untuk mencegah multitafsir dalam praktik. “Penyidik, jaksa, dan hakim harus menjalankan peran sesuai batasannya masing-masing. Kalau terjadi tumpang tindih, dampaknya bisa sangat fatal,” tegasnya.
Dr. Sholehuddin turut menambahkan bahwa DPR, khususnya Komisi III, perlu lebih terbuka terhadap masukan kalangan akademisi, mengingat sejumlah pasal dalam RUU ini berpotensi merugikan masyarakat.
“Penyelidikan itu bagian penting dalam proses hukum. Kalau dihapus atau dipangkas waktunya tanpa pengawasan ketat, masyarakat bisa dirugikan. Apalagi jika restorative justice dipaksakan sejak tahap penyelidikan, itu prematur dan melanggar prinsip kepastian hukum,” tegasnya.
Forum ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang akan disampaikan kembali kepada DPR RI. Para akademisi berharap, pembahasan RUU KUHAP tidak sekadar mengejar target pengesahan, melainkan benar-benar menghadirkan sistem hukum acara pidana yang progresif, berkeadilan, dan berpihak pada perlindungan HAM.
Konten Terkait