Kamis 27-Oct-2022 10:52 WIB
250

Foto : detik
brominemedia.com-- James Bessen adalah direktur pada Technology and Policy Research Initiative di
Boston University School of Law. Dia menulis buku yang berjudul The New
Goliaths: How Corporations Use Software to Determinate Industries, Kill
Innovation, and Undermine Regulations. Buku setebal dua ratus tujuh puluh satu
halaman itu diterbitkan oleh Yale University Press tahun ini.
Di
dalamnya, Bessen mengupas bagaimana sebuah perusahaan dapat tumbuh dan lalu
menjadi superstar dengan dukungan sistem dan teknologi informasi yang kuat.
Salah satu poin yang diungkap adalah tentang betapa piawainya mereka meramu dan
menggabungkan skill, strategi bisnis serta pemanfaatan teknologi informasi
termasuk perangkat lunak kuat untuk mengalahkan kompetitor. Kata kunci di balik
semua itu tak lain demi memberikan apa pun, sekali lagi apa pun, yang
diinginkan para pelanggan. Dengan cara itu mereka memenangkan pasar.

Maka ketika
membaca ulasan di laman Spotlight DetikX edisi Senin 24 Oktober 2022 yang
berkait bisnis joki skripsi, saya menjadi berpikir. Mereka, para joki itu,
memanfaatkan kekuatan dan kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi
informasi.
Kecanggihan
dan kelengkapan fitur mesin pencari serta piranti pengolah paraphrase
dimanipulasi demi memenuhi apa pun yang diinginkan oleh pelanggan mereka.
Apakah fakta itu merupakan wujud sisi gelap dari varian primitif dalam kutub
yang bersifat paradoks atas apa yang dikupas oleh Bessen di dalam bukunya di
atas?
Bahwa demi
pemenuhan apa pun hasrat dan kepuasan pelanggan maka teknologi informasi boleh
dimanfaatkan bahkan untuk tujuan dan cara tak pantas?
Tentu
tidak. Konon salah satu kambing hitam dalam sengkarut masalah itu adalah dosen
yang ternilai tidak kompeten. Sungguhkah demikian? Jika pun benar, maka timbul
pertanyaan berikutnya. Mengapa seorang dosen dapat sedemikian tidak kompeten
dalam urusan bimbingan skripsi? Dari titik inilah kemudian simpul kekuatan
sistem inovasi sebuah universitas dapat ditelisik.
Siapa yang
bersalah sudah tak lagi penting. Pihak universitas hanya sangat perlu untuk
memperkuat budaya akademik mereka. Mengajarkan dan menerapkan prinsip
integritas akademik dalam kehidupan kampus mestinya bersifat mutlak. Karena
tidak ada pilihan untuk menjadi buruk di dalam domain universitas. Dengan
demikian keputusan seorang mahasiswa untuk memilih menerima layanan joki
skripsi bukan merupakan perkara yang dapat dimasukkan ke dalam ranah privat.
Perbuatan
itu mutlak terkategorikan sebagai academic misconduct yang timbul dari sebuah
simbiosisme
tercela. Hal yang mestinya tidak dibiarkan memiliki ruang bertumbuh di
institusi perguruan tinggi. Oleh karena itu saya memandang bahwa berfokus
merumuskan solusi yang memperkuat sistem inovasi merupakan pilihan bijaksana
yang elok ditempuh semua universitas.
Korban
Salah Asuhan?
Saya
memandang penikmat layanan joki skripsi itu layaknya anak yang salah asuhan.
Keluar untuk mencari kawan bergaul dalam kepentingan yang seirama. Pihak yang
dipandang kuasa menggenapi pemuasan hasrat. Tak perduli meski dalam bentuk
interaksi menyimpang yang melawan kaidah. Bisa jadi karena tak kuasa
menciptakan kesenangan yang mestinya dapat mereka untai dengan apa yang
tersedia di rumah sendiri. Mereka menceburkan diri ke dalam relasi yang
pragmatis, transaksional dan bahkan antagonis. Tetap tercela meski dipupuri
dengan argumen benefit mutualistis para pihak.
Mental
koruptif penyuka jalan pintas disertai kengganan untuk berhidmat di jalan
cendekia memantik kejelian pihak lain. Mereka inilah para joki yang
memanfaatkan keadaan itu menjadi peluang bisnis yang bersifat predator. Maka
sangat mustahil menemukan ruang marwah dan etika akademik pada keadaan seperti
itu.
Skripsi,
tesis dan bahkan disertasi yang muncul kemudian tidak pernah bernilai
persembahan berkarya dalam rasa hormat. Seperti halnya setiap catatan yang
bersifat predator, maka skripsi, tesis dan lain-lain itu tak lebih dari
lembar-lembar kepalsuan yang dijilid menjadi sampah. Berjalan begitu saja tanpa
rasa bersalah.
Bisnis
predator semacam itu telah menjadi rahasia umum. Mirisnya, tidak hanya berlaku
untuk skripsi. Saat ini setiap orang dapat dengan mudah menemukan tawaran joki
semacam itu di media sosial semisal Instagram. Merambah bahkan ke urusan
penulisan proposal dan mengerjakan tugas perkuliahan. Artinya, prilaku yang
menafikan marwah akademik itu telah beralihragam. Mengisi ceruk pasar terbuka.
Laksana
telanjang berkesengajaan di ruang publik dengan tanpa tabu. Di benak saya
kemudian terbersit sebuah pertanyaan. Jika dalam konteks ini tabu sama sekali
tidak lagi ada, lantas marwah akademik pupus dimana?
Menutup
Lubang Sistem Inovasi
Kala
mengisi orasi ilmiah di momen dies natalis Fakultas MIPA UNS awal bulan ini,
Profesor Josaphat Tetuko mengucapkan quote pribadi yang saya pandang sangat
menginspirasi. Bahwa sangat penting bagi setiap dosen untuk membentuk dirinya
dan lalu tumbuh mencapai keadaan sebagai satu-satunya orang di dunia dengan
kepakaran tertentu di bidangnya. Atau, menjadi orang pertama di dunia yang
menyingkap dan menemukan teori dan atau teknologi tertentu.
Hebatnya,
bukti dari ucapan itu tertelusur. Diaspora Indonesia yang kini menjadi
professor ternama di Chiba University itu sangat dihormati. Pionir sekali gus
ilmuwan terkemuka dunia di bidang teknologi circularly polarized antenna.
Mahasiswa dari berbagai negara tergabung di laboratorium risetnya. Mereka
belajar dan mengerjakan riset doktoral yang merupakan bagian skema besar riset
sang profesor.
Saya sedang
mencoba mengatakan bahwa marwah dalam budaya akademik itu tidak tumbuh dalam
masa yang pendek. Integritas akademik memerlukan komitmen, passion dan
kesetiaan yang tulus. Lalu di atas semua itu adalah keteladanan dan kerelaan
berkorban. Kehidupan di universitas itu sejatinya hanya menawarkan dua ragam
pilihan kepada setiap civitas akademikanya. Yang pertama adalah membentuk diri
menjadi karakter lebih hebat. Adapun pilihan keduanya adalah menjadi karakter
yang sangat hebat! Hanya itu karena menjadi buruk selalu tidak pernah tercatat
dalam himpunan pilihan.
Maka begitu
pula eloknya layanan untuk riset mahasiswa dijalankan. Apa pun strata studinya.
Skripsi, tesis dan bahkan disertasi mestinya selalu merupakan bagian dari skema
besar riset dosen pembimbing atau profesornya. Lab dan grup riset itu laksana
kawah candradimuka. Ruang berekspresi dan berkarya tanpa batas dalam atmosfir
kejujuran. Tempat para professor mengajarkan pengetahuan, inovasi dan hikmah.
Mewariskan
keteladanan. Mengajarkan makna persembahan berkarya seorang cendekia melalui
interaksi egaliter berkesantunan. Memandang jauh ke depan, merajut impian
setinggi-tingginya. Bahwa plagiarisme dan semua ragam academic misconduct
lainnya akan selamanya bukan pilihan.
Sayangnya,
keadaan seperti itu masih menjadi bagian mimpi dalam bangun budaya akademik
sebagian universitas kita. Belum sepenuhnya seperti itu karena beragam kendala.
Masih tersisa bagian berlubang dan rapuh. Keadaan yang saya yakini hanya dapat
diatasi dengan lompatan berpikir kreatif. Sinergis dalam jejaring dan
eksosistem inovasi bangsa yang selaras. Wallahualam.
Konten Terkait
Athi Nur Auliati Rahmah, adalah alumnus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang lulus tanpa skripsi. Ia kini kuliah di Inggris berkat beasiswa.
Jumat 30-Dec-2022 12:08 WIB
brominemedia.com-- Mental koruptif penyuka jalan pintas disertai kengganan untuk berhidmat di jalan cendekia memantik kejelian pihak lain. Mereka inilah para joki.
Kamis 27-Oct-2022 10:52 WIB