Senin 14-Apr-2025 22:41 WIB
Foto : republiknews
Brominemedia.com – Di negeri yang menjunjung tinggi nilai raport lebih dari akal sehat, anak muda belajar keras demi satu tujuan suci: lulus dengan predikat sempurna tapi tidak tahu mau jadi apa.
Sekolah, katanya, adalah tempat mempersiapkan masa depan. Tapi masa depan yang mana? Yang penuh inovasi? Atau yang masih sibuk meributkan panjang rok siswi dan warna kaos kaki?
Selama lebih dari satu dekade, siswa dijejali pelajaran yang kadang tidak punya niat baik untuk berguna di dunia nyata. Mereka harus hafal anatomi bunga, sejarah penjajahan, hingga rumus kimia yang bahkan guru IPA sendiri kadang tak pakai dalam hidup sehari-hari.
Tapi saat lulus? Disuruh bikin CV aja bingung. Soft skill nihil, critical thinking koma, public speaking ambyar.
Yang penting, nilai raport bagus dan hafalan lancar.
Sementara dunia luar sudah beralih ke artificial intelligence, ruang kelas kita masih setia dengan penggaris kayu dan papan tulis berdebu.
Ironisnya, ketika lulusan bingung cari kerja, sistem pendidikan malah bilang: “Kurang usaha.”
Sangat mudah menyalahkan Gen Z. “Anak sekarang manja, cepat bosan, maunya instan,” kata para pengamat yang lupa bahwa dunia sudah berubah. Tapi tak ada yang mau mengakui bahwa mungkin sistem pendidikannya yang kadaluarsa.
Kita mengharapkan mereka jadi kreatif, padahal sejak SD sudah diajari bahwa jawaban benar hanya satu dan tidak boleh berbeda.
Kita ingin mereka jadi pemimpin, tapi selama ini dipaksa diam, duduk rapi, dan nurut.
Maka lahirlah generasi yang cerdas di atas kertas, tapi bingung menghadapi dunia nyata yang tidak bisa ditebak dengan kunci jawaban.
Setiap ganti menteri, kurikulum pun ganti baju. Tapi isinya? Masih mirip lembar jawaban UN.
Murid tetap dijejali fakta-fakta yang mudah dicari di Google, tapi tak diberi ruang untuk bertanya, apalagi mempertanyakan.
Pendidikan kita hebat mengukur panjang jembatan, tapi tak pandai membangun jembatan logika.
Kita dididik untuk tahu siapa tokoh kemerdekaan, tapi tidak diajari bagaimana memperjuangkan ide di tengah kebebalan birokrasi.
Kalau sekolah tetap jadi pabrik pencetak ijazah dan bukan laboratorium pencari makna, maka jangan heran kalau lulusan-lulusan terbaik malah sibuk cari lowongan kerja—sementara dunia butuh pencipta lapangan kerja.
Saatnya pendidikan bukan cuma soal hafalan, tapi soal keberanian. Bukan hanya soal nilai, tapi soal nilai-nilai.
Karena ketika anak muda ditanya “kamu bisa apa?”, mereka harusnya bisa jawab lebih dari “saya bisa lulus.”
Konten Terkait