Jumat 27-Dec-2024 20:47 WIB
Foto : republikain
Brominemedia.com – Beruntunglah mereka yang menunaikan ibadah haji pada masa modern kini. Hanya dalam waktu sembilan jam penerbangan, jamaah sudah bisa sampai di Tanah Suci. Sekembalinya dari menunaikan rukun Islam kelima, mereka dapat langsung bertemu lagi dengan keluarga dan kerabatnya.
Namun, tidak demikian keadaannya pada masa-masa lalu. Lebih-lebih ketika transportasi ke Arab masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, bahkan bilangan tahun, untuk bepergian dari Tanah Air ke Tanah Suci.
Bila hendak menunaikan rukun Islam kelima itu, jamaah seolah-olah siap mati dan ditangisi sanak keluarga. Walau ibadah haji bagi mereka yang mampu, dalam dada tiap Muslim tertanam cita-cita untuk melaksanakannya.
Pada abad ke-16 saat awal-awal Islam di Indonesia, telah terjalin hubungan dengan Makkah. Pada 1630-an, raja Banten dan raja Mataram menunaikan rukun Islam kelima. Rombongan utusan dari Banten baru kembali pada 1638 dan dari Mataram baru sampai 1641. Beberapa tahun kemudian, pada 1674 untuk pertama kali seorang pangeran Jawa naik haji, yakni putra Sultan Agung Tirtajasa dari Banten bernama Abdul Dohhar yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji.
Pada masa-masa berikutnya, makin banyak umat Islam Indonesia melaksanakan ibadah haji. Salah satu sejarah ibadah haji yang kini masih kita dapati adalah di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Tepatnya di Onrust, pulau terdekat dengan Jakarta dan dapat ditempuh dengan menggunakan perahu tradisional dalam waktu 10–15 menit.
Pulau ini merupakan saksi sejarah pelaksanaan ibadah haji awal abad ke-20, tepatnya pada 1911. Ketika pemerintah Hindia Belanda menjadikannya sebagai Karantina Haji bagi para jamaah yang baru kembali dari tanah suci. Tujuannya adalah untuk mencegah ancaman penyebaran penyakit menular yang mungkin dibawa oleh para jamaah sekembalinya mereka dari Makkah.
Untuk mewujudkan karantina ini, pemerintah kolonial membangun barak-barak (kini tinggal puing-puing) yang menjadi tempat tinggal para jamaah yang baru tiba. Jumlah barak yang dibangun sekitar 35 unit dan dapat menampung sekitar 3.500 jamaah. Para jamaah diwajibkan tinggal di Pulau Onrust selama kurang lebih lima hari sebelum mereka diperkenankan kembali ke tempat asal masing-masing. Sedangkan bagi yang sakit harus dibawa ke pulau sebelahnya, yakni Pulau Cipir, yang dikenal juga sebagai Pulau Sakit yang luasnya 1,60 ha. Sementara Luas Onrust 7,5 ha.
Di lokasi karantina ini juga dibangun rumah sakit lengkap dengan para dokter dan staf. Bila ada jamaah yang meninggal dunia saat masa karantina, jenazahnya akan dibawa dengan kapal yang bernama Kapal Onrust ke Pulau Sakit (Cipir) dan Pulau Bidadari. Karantina jamaah haji ini berawal tahun 1933, saat pelabuhan Tanjung Priok mulai difungsikan.
Mendatangi Pulau Onrust dan Pulau Cipir, kita masih melihat bekas-bekas karantina haji. Terutama di Pulau Onrust terdapat rumah dokter dan tempat-tempat yang selama 22 tahun digunakan sebagai karantina. Sedangkan barak-baraknya sudah berupa reruntuhan puing-puing. Sayangnya, para jamaah haji yang meninggal dunia selama karantina dimakamkan secara serampangan tidak sesuai dengan cara orang Islam dimakamkan.
Karantina bukan hanya terjadi di Onrust. Pada akhir abad ke-19, bukan hanya saat pergi, tapi pulangnya mereka harus dikarantina dan diturunkan di Kamerun, Afrika, selama tiga hari. Mereka mandi dengan air asin dengan makanan yang kurang semestinya. Setibanya di Tanah Air, tidak bisa langsung menemui sanak saudara, masih harus dikantina antara lima sampai 10 hari di Onrust.
Jadi, para jamaah dari seluruh Indonesia harus singgah di Onrust. Mereka yang ke tanah suci lewat kapal Belanda harus dikarantina. Di antara mereka mungkin saja terdapat tokoh-tokoh pergerakan nasional melalui kapal laut milik Belanda. Seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Ashari, dan HOS Tjokroaminoto.
UU Karantina diterbitkan pada Mei 1911 oleh Pemerintah Hindia Belanda disebabkan adanya penyakit menular. Tikus-tikus dicurigai sebagai penyebab wabah penyakit. Tikus yang masuk ke Indonesia berawal dari kegiatan impor beras yang masuk dari Rangon (kini Myanmar). Tikus yang ada dalam kapal haji, dalam perjalanan ke Indonesia, masuk dan bersembunyi di dalam karung beras dan ikut terbawa ke Indonesia.
Hal itu menyebabkan diberlakukannya karantina para jamaah haji yang berlangsung selama 22 tahun. Untuk mengontrol populasi tikus, pemerintah kolonial menjanjikan hadiah bagi masyarakat yang membunuh tikus dalam jumlah tertentu. Dalam waktu kurun satu bulan sepuluh hari (1 April–11 Mei 1911), tercatat 1.090.151 tikus diberantas dan 1.3996 tikus ditemukan mati karena penyakit. Namun yang jelas, penyakit ini (pes) tidak dibawa pulang dari Makkah oleh para jamaah haji.
Konten Terkait
PERISTIWA
Jubir PDIP Sebut Megawati Tak Pernah Melarang Kader Ikut Retret
Juru bicara PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan ketum partainya Megawati Soekarnoputri tidak pernah membuat instruksi yang melarang keikutsertaan kepala daerah dari parpol berkelir merah ke acara retret di Magelang, Jawa Tengah, dari 21-28 Februari 2025.
Selasa 25-Feb-2025 20:23 WIB