Senin 05-May-2025 20:29 WIB
Foto : liputan6
Brominemedia.com – Pagi baru saja menyapa Jakarta Selatan. Sinar matahari masih malu-malu menembus pepohonan saat seorang pria paruh baya berseragam sederhana telah bersiaga di depan sebuah minimarket kawasan Pejaten.
Namanya Solihin. Usianya 61 tahun. Setiap hari, pria berkaos hitam lusuh itu mengenakan kupluk biru dongker dan tas selempang kecil yang tergantung setia di bahunya. Di antara bibirnya, sebuah peluit menggantung, senjata andalan yang menemaninya mencari nafkah.
Dengan senyum ramah, Solihin menyambut pengendara yang datang. Tangannya lincah mengatur lalu lintas sepeda motor. Barang bawaan dibantu diangkatkan, bahkan behel motor pun tak luput dari sentuhannya.
“Jangan dikunci stang-nya ya,” pintanya lembut kepada salah satu pengunjung.
Bukan perintah. Lebih seperti kebiasaan bertahun-tahun sebagai penjaga kendaraan yang mulai akrab dengan pola dan kebutuhan pengunjung.
Solihin sadar, tak semua orang menghargai profesinya. Tapi ia tidak ambil pusing.
“Kalau sama saya gak bayar juga gak apa-apa,” ucapnya santai sembari menghisap rokok saat berbincang, Senin (5/5/2025).
Dalam sehari, Solihin bisa membantu memarkirkan 50 hingga 70 motor. Kadang lebih, kadang kurang. Semua tergantung situasi.
Soal penghasilan, tak ada angka pasti. “Paling dapat Rp70 ribu sampai Rp100 ribu sehari. Ya cukup-cukupin saja,” tuturnya.
Meski begitu, Solihin bukan tukang parkir liar. Ia bekerja di bawah koordinasi RT setempat, yang bekerja sama dengan minimarket tempatnya berjaga. Ada sistem setoran, ada jadwal kerja. Ia bertugas empat hari, lalu bergantian dengan rekannya.
“Kerjanya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Kita setor tiap hari ke orang RT,” jelasnya.
Di mata sebagian orang, ia mungkin cuma tukang parkir. Tapi bagi banyak pelanggan minimarket, Solihin adalah sosok yang setia menjaga kendaraan mereka dengan rapi dan aman.
“Kalau gak ngasih juga gak papa. Rezeki mah dari mana saja. Saya tetap bantuin, tetap perhatiin motornya satu-satu,” katanya tenang.
Juru Parkir Demi Menyambung Hidup
Di sudut lain Jakarta Selatan, tepatnya di kawasan Mampang, Erja juga sedang menjalani hari dengan tanggung jawab yang sama. Duduk di kursi kayu di depan sebuah minimarket yang banyak didatangi oleh kaum muda untuk sekedar nongkrong atau membeli kopi, pandangannya awas mengamati kendaraan yang keluar masuk.
Tak ada peluit di mulutnya. Tapi ada tanggung jawab besar di pundaknya, dua anak kecil dan seorang istri yang harus ia nafkahi.
“Dibilang enggak cukup ya emang enggak cukup. Tapi dicukup-cukupin saja,” katanya datar, namun penuh makna.
Erja baru menjadi tukang parkir sejak Desember 2024. Saat minimarket itu baru dibuka, ia bersama rekannya mengajukan semacam proposal untuk bekerja sebagai penjaga parkir. Beruntung, mereka diterima.
Sistem kerjanya bergilir. Erja mendapat jatah pagi hingga sore, dari jam 8 sampai jam 3. Sisanya dipegang rekannya.
"Kalau rame, bisa dapat Rp150 ribu. Tapi kan dibagi dua,” ujarnya.
Seperti Solihin, Erja juga sadar pandangan orang tentang tukang parkir seringkali sinis.
“Ada aja yang marah-marah. Tapi ya kita hadapin pelan-pelan. Kerja ini halal, yang penting anak istri cukup makan,” katanya.
Ia berharap masyarakat tak memandang sebelah mata. Dia pun mengaku, seandainya ada pekerjaan lain yang lebih layak, dia tak segan untuk menerimanya.
"Sama-sama cari uang. Kalau ada kerjaan yang lebih baik, tentu mau. Tapi ya belum ada kesempatan,” ujar Erja, jujur.
Antara Membantu, atau Membuat Tidak Nyaman
Namun tak semua orang punya pandangan sehangat itu terhadap tukang parkir. Bagas, salah satu warga yang sering ke minimarket, mengaku kerap kesal. “BT banget sih, cuma ambil uang di ATM, eh ditagih tukang parkir,” ujarnya.
Senada, Fadil, warga lain, merasa tukang parkir seperti muncul dari semak-semak. “Pas datang gak ada orang. Tapi pas mau keluar, tiba-tiba ada yang bantuin narik motor, langsung minta uang,” katanya kesal.
Pengalaman Fadil bahkan lebih buruk. Ia pernah diteriaki karena menolak bayar parkir—padahal jelas-jelas ada tulisan “parkir gratis” di depan minimarket.
“Masalahnya bukan di uangnya. Tapi sikap dan cara mereka. Kadang maksa, kadang kasar. Saya pernah diteriaki pakai kata-kata kotor,” ungkapnya.
Fadil tak tahu harus melapor ke siapa. Ia hanya berharap ada kejelasan dari pemilik minimarket.
“Kalau memang parkir gratis, ya jangan ada tukang parkir. Harus tegas,” pungkasnya
Konten Terkait
PERISTIWA
Di Balik Tiupan Peluit dan Senyum Tukang Parkir
Dengan senyum ramah, Solihin menyambut pengendara yang datang. Tangannya lincah mengatur lalu lintas sepeda motor. Nasib tukang parkir minimarket jadi dilema, antara dianggap menggangu kenyamanan dan melindungi kendaraan warga.
Senin 05-May-2025 20:29 WIB